Rabu, 31 Oktober 2012
Akhlaknya Habib Umar bin Hafidz begitu tawadhu
Seorang Sufi pasti akhlaknya mulia, tidak mungkin seorang sufi akhlaknya tercela
Contoh Ulama sekarang Al-Habib Umar bin Hafidz (Hadramaut),,
Ketika ada orang yang menentang maulid pada dirinya (Habib Umar), orang itu berkata maulid itu sesat, bid'ah dsb, apa yang dilakukan beliau (Habib Umar), ia hanya tersenyum, mencium tangan orang yang memaki maulid, hingga orang itu menangis. lalu orang itu berkata sambil menangis anak saya saja belum pernah mencium tangan saya, tapi ini orang yang saya caci, saya maki malah mencium tangan saya, hingga orang itupun yang tadinya membenci dengan maulid menjadi menyukai Maulid..
Senin, 29 Oktober 2012
Sibuk Menata Hati
Suatu ketika,
seorang sufi yang masih muda datang dengan maksud ingin berguru kepada
Abu Said Abul Khair, seorang Guru Sufi yang terkenal karena ‘karamah’nya
dan gemar mengajar tasawuf di pengajian-pengajian. Rumah gu
ru
sufi itu terletak di tengah-tengah padang pasir. Ketika sufi muda itu
tiba di rumahnya, Abul Khair sedang memimpin Majelis pengajian, di
tengah-tengah para muridnya.
Sewaktu Abul Khair membaca surah Al-Fatihah. Ia tiba pada ayat: ghairil maghdubi ‘alaihim, wa ladh dhallin. Sufi muda itu berpikir, “Bagaimana mungkin ia seorang Guru sufi terkenal?, makhraj bacaan Al Fatehahnya tidak bagus begitu. Bagaimana mungkin aku bisa berguru kepadanya. Bacaan Quran-nya saja tidak bagus.” Sufi muda itu mengurungkan niatnya untuk belajar kepada Abul Khair.
Sufi muda itu merasa salah memilih calon Guru baginya, dan ia memutuskan pulang dan mencari Guru lain yang makhraj bacaannya lebih bagus darinya. Begitu sufi muda itu keluar, ia langsung dihadang oleh seekor Singa Padang Pasir yang buas. Ia kemudian mundur menghindari Singa itu, akan tetapi di belakangnya ada seekor Singa Padang Pasir lain yang menghalanginya. Lelaki muda itu menjerit keras meminta tolong karena ketakutan.
Mendengar teriakannya, Abul Khair segera turun keluar meninggalkan majelisnya. Ia menatap kedua ekor Singa yang kelaparan itu dan menegur mereka, “Wahai Singa, Bukankah sudah kubilang padamu, jangan pernah kalian menganggu para tamuku!”
Kedua singa itu lalu bersimpuh di hadapan Abul Khair. Sang sufi lalu mengelus telinga keduanya dan menyuruhnya pergi. Lelaki muda itu keheranan, “Bagaimana mungkin Anda dapat menaklukkan Singa-Singa yang begitu liar?”
Abul Khair menjawab, “Anak muda, selama ini aku sibuk memperhatikan urusan hatiku.Bertahun-tahun aku berusaha menata hatiku, hingga aku tidak sempat berprasangka buruk kepada orang lain. Untuk kesibukanku menaklukkan hati ini, Allah SWT menaklukkan seluruh alam semesta kepadaku. Semua binatang buas di sini termasuk Singa-Singa Padang pasir yang buas tadi semua tunduk kepadaku. Sekarang apakah kamu menyadari kekuranganmu wahai anak muda ?
“Tidak , wahai Guru”, jawab anak muda itu.
“Selama ini kamu sibuk memperhatikan hal-hal lahiriah hingga nyaris lupa memperhatikan hatimu, karena itu kamu takut kepada seluruh alam semesta, dan ketakutan hanya karena Singa-Singa itu.”
Sahabatku,
Betapa indah sekiranya kita memiliki hati atau qolbu yang senantiasa tertata terpelihara terawat dengan sebaik-baiknya. Kita akan senantiasa merasakan lapang tenteram tenang sejuk dan indah hidup di dunia ini. Semua ini akan tercermin dalam tiap gerak-gerik perilaku tutur kata, senyum tatapan mata riak air muka bahkan diam sekalipun.
Orang yang hatinya telah tertata dengan baik, ia tidak pernah merasa resah gelisah tidak pernah gundah gulana. Kemana pun pergi dan dimana pun berada ia senantiasa mampu mengendalikan hatinya. Diri senantiasa berada dalam kondisi damai dan mendamaikan tenang dan menenangkan tenteram dan menenteramkan. Ia yakin dengan keyakinan yang amat sangat bahwa hanya dengan mengingat dan merindukan Allah, hanya dengan menyebut-nyebut namaNYA setiap saat, meyakini dan mengamalkan ayat-ayat-Nya maka hati menjadi tenteram. Tantangan seberat apapun diterima dengan ikhlas.
Sebaliknya orang yang hati-nya tidak tertata akan mendapatkan kerugian yang berlipat-lipat. Tidak saja hati yang selalu gelisah namun juga orang lain yang melihat pun tidak akan menaruh hormat sedikit pun jua. Ia akan dicibir dan dilecehkan orang. Ia akan tidak disukai sehingga sangat mungkin akan tersisih dari pergaulan. Terlepas siapa orangnya. Adakah ia orang berilmu berharta banyak pejabat atau siapapun; kalau hatiya tidak ditata dengan baik alias berhati busuk niscaya akan mendapat celaan dari masyarakat yang mengenalnya. Derajatnya-pun mungkin akan sama atau bahkan lebih hina dari pada apa yang dikeluarkan dari perutnya.
Orang yang hatinya tertata rapih adalah orang yang telah berhasil merintis jalan ke arah kebaikan. Ia tidak akan tergoyahkan dengan aneka rayuan dunia yang tampak menggiurkan. Ia akan melangkah pada jalan yang lurus. Dari titik tahapan kebaikan itu hingga mencapai titik puncak. Sementara itu ia akan berusaha sekuat tenga untuk memelihara diri dari sikap sombong (ujub), riya’, hasad (dengki) dan perilaku rendah lainnya.
Sungguh betapa beruntung orang yang senantiasa bersungguh-sungguh menata hati karena berarti ia telah menabung aneka kebaikan yang akan segera dipetik hasil dunia akhirat. Sebaliknya, alangkah malangnya orang yang tidak pernah menata hatinya, selama hidup lalai dan membiarkan hatinya kusut masai dan kotor. Karena jangankan akhirat kelak bahkan ketika hidup di dunia pun nyaris tidak akan pernah merasakan nikmat hidup tenteram nyaman dan lapang.
Sahabatku,
Seperti Sufi Besar, Abu Said Abul Khair dalam kisah di atas yang dapat menaklukkan alam semesta akibat ia sibuk menata hatinya, bahkan sepasang Singa padang pasir yang sangat buas dan kelaparan bisa dengan mudah ia tundukkan. Sebaliknya sufi muda yang hendak berguru, akibat sibuk hanya mengurus makhraj bacaan Al Qur’an orang lain, dan berprasangka buruk pada calon Gurunya, maka ia dihantui ketakutan akan alam semesta..
Sewaktu Abul Khair membaca surah Al-Fatihah. Ia tiba pada ayat: ghairil maghdubi ‘alaihim, wa ladh dhallin. Sufi muda itu berpikir, “Bagaimana mungkin ia seorang Guru sufi terkenal?, makhraj bacaan Al Fatehahnya tidak bagus begitu. Bagaimana mungkin aku bisa berguru kepadanya. Bacaan Quran-nya saja tidak bagus.” Sufi muda itu mengurungkan niatnya untuk belajar kepada Abul Khair.
Sufi muda itu merasa salah memilih calon Guru baginya, dan ia memutuskan pulang dan mencari Guru lain yang makhraj bacaannya lebih bagus darinya. Begitu sufi muda itu keluar, ia langsung dihadang oleh seekor Singa Padang Pasir yang buas. Ia kemudian mundur menghindari Singa itu, akan tetapi di belakangnya ada seekor Singa Padang Pasir lain yang menghalanginya. Lelaki muda itu menjerit keras meminta tolong karena ketakutan.
Mendengar teriakannya, Abul Khair segera turun keluar meninggalkan majelisnya. Ia menatap kedua ekor Singa yang kelaparan itu dan menegur mereka, “Wahai Singa, Bukankah sudah kubilang padamu, jangan pernah kalian menganggu para tamuku!”
Kedua singa itu lalu bersimpuh di hadapan Abul Khair. Sang sufi lalu mengelus telinga keduanya dan menyuruhnya pergi. Lelaki muda itu keheranan, “Bagaimana mungkin Anda dapat menaklukkan Singa-Singa yang begitu liar?”
Abul Khair menjawab, “Anak muda, selama ini aku sibuk memperhatikan urusan hatiku.Bertahun-tahun aku berusaha menata hatiku, hingga aku tidak sempat berprasangka buruk kepada orang lain. Untuk kesibukanku menaklukkan hati ini, Allah SWT menaklukkan seluruh alam semesta kepadaku. Semua binatang buas di sini termasuk Singa-Singa Padang pasir yang buas tadi semua tunduk kepadaku. Sekarang apakah kamu menyadari kekuranganmu wahai anak muda ?
“Tidak , wahai Guru”, jawab anak muda itu.
“Selama ini kamu sibuk memperhatikan hal-hal lahiriah hingga nyaris lupa memperhatikan hatimu, karena itu kamu takut kepada seluruh alam semesta, dan ketakutan hanya karena Singa-Singa itu.”
Sahabatku,
Betapa indah sekiranya kita memiliki hati atau qolbu yang senantiasa tertata terpelihara terawat dengan sebaik-baiknya. Kita akan senantiasa merasakan lapang tenteram tenang sejuk dan indah hidup di dunia ini. Semua ini akan tercermin dalam tiap gerak-gerik perilaku tutur kata, senyum tatapan mata riak air muka bahkan diam sekalipun.
Orang yang hatinya telah tertata dengan baik, ia tidak pernah merasa resah gelisah tidak pernah gundah gulana. Kemana pun pergi dan dimana pun berada ia senantiasa mampu mengendalikan hatinya. Diri senantiasa berada dalam kondisi damai dan mendamaikan tenang dan menenangkan tenteram dan menenteramkan. Ia yakin dengan keyakinan yang amat sangat bahwa hanya dengan mengingat dan merindukan Allah, hanya dengan menyebut-nyebut namaNYA setiap saat, meyakini dan mengamalkan ayat-ayat-Nya maka hati menjadi tenteram. Tantangan seberat apapun diterima dengan ikhlas.
Sebaliknya orang yang hati-nya tidak tertata akan mendapatkan kerugian yang berlipat-lipat. Tidak saja hati yang selalu gelisah namun juga orang lain yang melihat pun tidak akan menaruh hormat sedikit pun jua. Ia akan dicibir dan dilecehkan orang. Ia akan tidak disukai sehingga sangat mungkin akan tersisih dari pergaulan. Terlepas siapa orangnya. Adakah ia orang berilmu berharta banyak pejabat atau siapapun; kalau hatiya tidak ditata dengan baik alias berhati busuk niscaya akan mendapat celaan dari masyarakat yang mengenalnya. Derajatnya-pun mungkin akan sama atau bahkan lebih hina dari pada apa yang dikeluarkan dari perutnya.
Orang yang hatinya tertata rapih adalah orang yang telah berhasil merintis jalan ke arah kebaikan. Ia tidak akan tergoyahkan dengan aneka rayuan dunia yang tampak menggiurkan. Ia akan melangkah pada jalan yang lurus. Dari titik tahapan kebaikan itu hingga mencapai titik puncak. Sementara itu ia akan berusaha sekuat tenga untuk memelihara diri dari sikap sombong (ujub), riya’, hasad (dengki) dan perilaku rendah lainnya.
Sungguh betapa beruntung orang yang senantiasa bersungguh-sungguh menata hati karena berarti ia telah menabung aneka kebaikan yang akan segera dipetik hasil dunia akhirat. Sebaliknya, alangkah malangnya orang yang tidak pernah menata hatinya, selama hidup lalai dan membiarkan hatinya kusut masai dan kotor. Karena jangankan akhirat kelak bahkan ketika hidup di dunia pun nyaris tidak akan pernah merasakan nikmat hidup tenteram nyaman dan lapang.
Sahabatku,
Seperti Sufi Besar, Abu Said Abul Khair dalam kisah di atas yang dapat menaklukkan alam semesta akibat ia sibuk menata hatinya, bahkan sepasang Singa padang pasir yang sangat buas dan kelaparan bisa dengan mudah ia tundukkan. Sebaliknya sufi muda yang hendak berguru, akibat sibuk hanya mengurus makhraj bacaan Al Qur’an orang lain, dan berprasangka buruk pada calon Gurunya, maka ia dihantui ketakutan akan alam semesta..
marilah kita senantiasa melatih diri untuk
menyingkirkan segala penyebab yang potensial bisa menimbulkan
ketidak-nyamanan yang ada di dalam hati ini. Karena dengan hati yang
nyaman, indah dan lapang, niscaya akan membuat hidup ini terasa damai.
Dengan hati yang tertata, maka meskipun berseliweran aneka masalah hidup
yang dihadapi, namun sama sekali tidak akan pernah membuat ia terjebak
dalam kesulitan, karena ia selalu mampu menemukan jalan keluar terbaik
dengan izin Allah. Insya Allah!
Kisah Ma’ruf Al-Kharqi, Sufi yang Bertamu di Arasy
Ia mabuk cinta akan Dzat Ilahi.
Konon, Allah mengkuinya sebagai manusia yang mabuk cinta kepada-Nya.
Kebesarannya diakui berbagai golongan
Nama sufi ini tidak terlalu populer,
meski sama-sama berasal dari Irak, namanya tak sepopuleh Syekh Abdul
Qadir Jailani, Manshur Al-Hallaj, atau Junaid Al-Baghdadi. Dialah Ma’ruf
Al-Kharqi, salah seorang sufi penggagas paham cinta dalam dunia Tasawuf
yang jiwanya selalu diselimuti rasa rindu yang luar biasa kepada sang
Khalik. Tak salah jika ia menjadi panutan generasi sufi sesudahnya.
Banyak sufi besar seperti Sarry Al-Saqaty, yang terpengaruh
gagasan-gagasannya. Ia juga diangap sebagai salah seorang sufi penerus
Rabi’ah Al-Adawiyah sang pelopor mazhab Cinta.
Nama lengkapnya Abu Mahfudz Ma’ruf bin
Firus Al-Karkhi. Meski lama menetap di Baghdad, Irak, ia sesungguhnya
berasal dari Persia, Iran. Hidup di zaman kejayaan Khalifah Harun
Al-Rasyid dinasti Abbasiyah. tak seorangpun menemukan tanggal lahirnya.
Perhatikan komentar Sarry As-Saqaty, salah seorang muridnya. “Aku pernah
bermimpi melihat Al-Kharqi bertamu di Arasy, waktu itu Allah bertanya
kepada Malaikat, siapakah dia? Malaikat menjawab, “Engkau lebih
mengetahui wahai Allah,” maka Allah SWT berfirman, dia adalah Ma’ruf
Al-Kharqi, yang sedang mabuk cinta kepadaku.”
Menurut Fariduddin Aththar, salah seorang
sufi, dalam kitab Tadzkirul Awliya, orang tua Ma’ruf adalah seorang
penganut Nasrani. Suatu hari guru sekolahnya berkata, “Tuhan adalah yang
ketiga dan yang bertiga,” tapi, Ma’ruf membantah, “Tidak! Tuhan itu
Allah, yang Esa.
Mendengar jawaban itu, sang guru
memukulnya, tapi Ma’ruf tetap dengan pendiriannya. Ketika dipukuli
habis-habisan oleh gurunya, Ma’ruf melarikan diri.
Karena tak seorang pun mengetahui kemana
ia pergi, orang tua Ma’ruf berkata, “Asalkan ia mau pulang, agama apapun
yang dianutnya akan kami anut pula.” Ternyata Ma’ruf menghadap Ali bin
Musa bin Reza, seorang ulama yang membimbingnya dalam Islam.
Tak beberapa lama, Ma’ruf pun pulang. Ia
mengetuk pintu. “Siapakah itu” tanya orang tuanya. “Ma’ruf,” jawabnya.
“agama apa yang engkau anut?” tanya orang tuanya. “Agama Muhammad,
Rasulullah,” jawab Ma’ruf. Mendengar jawaban itu, orang tuanya pun
memeluk Islam.
Cinta Ilahiah
Salah seorang gurunya yang terkenal
adalah Daud A-Tsani, ia membimbing dengan disiplin kesufian yang keras,
sehingga mampu menjalankan ajaran agama dengan semangat luar biasa. Ia
dipandang sebagai salah seorang yang berjasa dalam meletakkan
dasar-dasar ilmu tasawuf dan mengembangkan paham cinta Ilahiah.
Menurut Ma’ruf, rasa cinta kepada Allah
SWT tidak dapat timbul melalui belajar, melainkan semata-mata karena
karunia Allah SWT. Jika sebelumnya ajaran taawuf bertujuan membebaskan
diri dari siksa akhirat, bagi Ma’ruf merupakan sarana untuk memperoleh
makrifat (pengenalan) akan Allah SWT. Tak salah jika menurut Sufi
Taftazani, adalah Ma’ruf Al-Kharqi yang pertama kali memperkenalkan
makrifat dalam ajaran tasawuf, bahkan dialah yang mendifinisikan
pengertian tasawuf. Menurutnya, Tasawuf ialah sikap zuhud, tapi tetap
berdasarkan Syariat.
Masih menurut Ma’ruf, seorang Sufi adalah
tamu Tuhan di dunia. Ia berhak mendapatkan sesuatu yang layak
didapatkan oleh seorang tamu, tapi sekali-kali tidak berhak mengemukakan
kehendak yang didambakannya. Cinta itu pemberian Tuhan, sementara
ajaran sufi berusaha mengetahui yang benar dan menolak yang salah.
Maksudnya, seorang sufi berhak menerima pemberian Tuhan, seperti
Karomah, namun tidak berhak meminta. Sebab hal itu datang dari Tuhan –
yang lazimnya sesuai dengan tingkat ketaqwaan seseorang kepada Allah
SWT.
Gambaran tentang Ma’ruf diungkapkan oleh
seorang sahabatnya sesama sufi, Muhammad Manshur Al-Thusi, katanya,
“Kulihat ada goresan bekas luka di wajahnya. Aku bertanya: kemarin aku
bersamamu tapi tidak terlihat olehku bekas luka. Bekas apakah ini?”
Ma’ruf pun menjawab, “Jangan hiraukan segala sesuatu yang bukan
urusanmu. Tanyakan hal-hal yang berfaedah bagimu.”
Tapi Manshur terus mendesak. “Demi Allah,
jelaskan kepadaku,” maka Ma’ruf pun menjawab. “Kemarin malam aku berdoa
semoga aku dapat ke Mekah dan bertawaf mengelilingi Ka’bah. Doaku itu
terkabul, ketika hendak minum air di sumur Zamzam, aku tergelincir, dan
mukaku terbentur sehingga wajahku lukan.”
Pada suatu hari Ma’ruf berjalan
bersama-sama muridnya, dan bertemu dengan serombongan anak muda yang
sedang menuju ke Sungai Tigris. Disepanjang perjalanan anak muda itu
bernyanyi sambil mabuk. Para murid Ma’ruf mendesak agar gurunya berdoa
kepada Allah sehingga anak-anak muda mendapat balasan setimpal. Maka
Ma’ruf pun menyuruh murid-muridnya menengadahkan tangan lalu ia berdoa,
“Ya Allah, sebagaimana engkau telah memberikan kepada mereka kebahagiaan
di dunia, berikan pula kepada mereka kebahagiaan di akherat nanti.”
Tentu saja murid-muridnya tidak mengerti. “Tunggulah sebentar, kalian
akan mengetahui rahasianya,” ujar Ma’ruf.
Beberapa saat kemudian, ketika para
pemuda itu melihat ke arah Syekh Ma’ruf, mereka segera memecahkan
botol-botol anggur yang sedang mereka minum, dengan gemetar mereka
menjatuhkan diri di depan Ma’ruf dan bertobat. Lalu kata Syekh Ma’ruf
kepada muridnya, “Kalian saksikan, betapa doa kalian dikabulkan tanpa
membenamkan dan mencelakakan seorang pun pun juga.”
Ma’ruf mempunyai seorang paman yang
menjadi Gubernur. Suatu hari sang Gubernur melihat Ma’ruf sedang makan
Roti, bergantian dengan seekor Anjing. Menyaksikan itu pamannya berseru,
“Tidakkah engkau malu makan roti bersama seekor Anjing?” maka sahut
sang kemenakan, “Justru karena punya rasa malulah aku memberikan
sepotong roti kepada yang miskin.” Kemudian ia menengadahkan kepala dan
memanggil seekor burung, beberapa saat kemudian, seekor burung menukik
dan hinggap di tangan Ma’ruf. Lalu katanya kepada sang paman, “Jika
seseorang malu kepada Allah SWT, segala sesuatu akan malu pada
dirinya.” Mendengar itu, pamannya terdiam, tak dapat berkata apa-apa.
Suatu hari beberapa orang syiah
mendombrak pintu rumah gurunya, Ali bin Musa bin Reza, dan menyerang
Ma’ruf hingga tulang rusuknya patah. Ma’ruf tergelatak dengan luka cukup
parah, melihat itu, muridnya, Sarry al-Saqati berujar, “Sampaikan
wasiatmu yang terakhir,” maka Ma’ruf pun berwasiat. “Apabila aku mati,
lepaskanlah pakaianku, dan sedekahkanlah, aku ingin mneinggalkan dunia
ini dalam keadaan telanjang seperti ketika dilahirkan dari rahim ibuku.”
Sarri as-Saqathi meriwayatkan kisah: Pada suatu hari perayaan aku melihat ma’ruf tengah memunguti biji-biji kurma.
“Apa yang sedang engkau lakukan?” tanyaku.
Ia menjawab, “Aku melihat seorang anak
menangis. Aku bertanya, “Mengapa engkau menangis?” ia menjawab. “Aku
adalah seorang anak yatim piatu. Aku tidak memiliki ayah dan ibu.
Anak-anak yang lain memdapat baju-baju baru, sedangkan aku tidak. Mereka
juga dapat kacang, sedangkan aku tidak,” lalu akupun memunguti
biji-biji kurma ini. Aku akan menjualnya, hasilnya akan aku belikan
kacang untuk anak itu, agar ia dapat kembali riang dan bermain bersama
anak-anak lain.”
“Biarkan aku yang mengurusnya,” kataku.
Akupun membawa anak itu, membelikannya
kacang dan pakaian. Ia terlihat sangat gembira. Tiba-tiba aku merasakan
seberkas sinar menerangi hatiku. Dan sejak saat itu, akupun berubah.
Suatu hari Ma’ruf batal wudu. Ia pun segera bertayammum.
Orang-orang yang melihatnya bertanya, “Itu sungai Tigris, mengapa engkau bertayammum?”
Ma’ruf menjawab, “Aku takut keburu mati sebelum sempat mencapai sungai itu.”
Ketika Ma’ruf wafat, banyak orang dari
berbagai golongan datang bertakziyah, Islam, Nasrani, Yahudi. Dan ketika
jenazahnya akan diangkat, para sahabatnya membaca wasiat almarhum:
“Jika ada kaum yang dapat mengangkat peti matiku, aku adalah salah
seorang diantara mereka.” Kemudian orang Nasrani dan Yahudi maju, namun
mereka tak kuasa mengangkatnya. Ketika tiba giliran orang-orang muslim,
mereka berhasil, lalu mereka menyalatkan dan menguburkan jenazahnya.
Jumat, 26 Oktober 2012
Perbedaan faham Ulama Ahli Syariat terhadap Ulama Ahli Hakikat (Tasawuf)
Terjadi suatu peristiwa, seorang pemuda telah bertanya kepada guru tasawufnya tentang perbedaan antara orang-orang syariat dan orang-orang hakikat dalam memahami agama Islam dan kenapa ilmu hakikat tidak berkembang luas. Kemudian sang guru berkata..“Untuk aku menjawab soalanmu itu wahai muridku, pergilah bertanya kepada kedua mereka akan dua persoalan ini iaitu yang pertama, adakah Allah itu berkuasa dan yang kedua, sembahyang itu apa hukumnya? Pergilah ke kampung sebelah kerana disana kamu akan menemui ulama syariat dan ulama hakikat. Bertanyalah kepada orang-orang kampung disana untuk mencari mereka.”Akur atas arahan gurunya itu lantas si pemuda tanpa banyak bicara terus ke rumah ulama syariat yang terkenal dikampung sebelah dengan bertanya-tanya arah rumahnya kepada orang kampung. Sesampainya si pemuda itu dirumah ulama syariat tersebut dengan ramah mesra si pemuda diajak masuk ke dalam rumah yang serba sederhana itu. Sang ulama syariat kelihatan kemas berjubah putih dan berserban, ditambah raut wajahnya yang bersih tanda beliau seorang yang soleh. Si pemuda dilayan seperti anak sendiri dengan dijamu makan malam sebelum sesi dialog dijalankan. Usai makan malam terus sahaja sang ulama syariat memulakan bicara.
“Ada urusan apa sehingga kamu bertandang ke rumah saya ini wahai anak muda?”
Tanya sang ulama syariat dengan nada yang redup.
“Sebenarnya saya ingin mendapatkan jawapan diatas dua persoalan yang
ingin saya ajukan berkenaan dengan agama Islam kita ini kepada ustaz.
Soalannya ialah adakah Allah itu berkuasa dan yang kedua, sembahyang itu
apa hukumnya?”
Setelah diam sejenak lalu sang ulama syariat menarik nafas dalam-dalam dan dengan tenang memberikan jawapannya.
“Ya, Allah itu memang berkuasa dan sembahyang itu hukumnya adalah wajib.”
Setelah mendapatkan jawaban daripada ulama syariat itu maka pemuda
itu pulang sambil hatinya berazam untuk bertemu dengan ulama hakikat
pula. Keesokkan harinya si pemuda mula merayau-rayau dikampung itu untuk
mencari sang ulama hakikat. Puas bertanya dengan orang kampung maka
tengah hari itu si pemuda bertemu dengan seorang makcik yang akhirnya
bersetuju menunjukkan beliau dimana sang ulama hakikat berada.
Sesampainya ditempat yang dituju kelihatan seorang lelaki tua sedang
membersihkan halaman rumahnya yang luas dihiasi taman bunga yang cantik.
Rumahnya begitu besar dan mewah. Sang ulama hakikat yang berkulit gelap
itu kelihatan memakai pakaian yang agak lusuh berbanding rumahnya yang
begitu mewah. Sudah sepuluh minit si pemuda berbual-bual ringan dengan
sang ulama hakikat namun kelihatan seolah-olah tiada tanda-tanda sang
ulama hakikat mahu menjemput beliau masuk ke dalam rumahnya yang mewah
itu.
“Ada apa urusan nak jumpa saya ini?”
Tanya sang ulama hakikat itu sambil tersenyum. Kemudian si pemuda
bertanyakan soalan yang sama sebagaimana yang ditanyakan kepada sang
ulama syariat.
“Sebenarnya saya ingin mendapatkan jawapan diatas dua persoalan yang
ingin saya ajukan berkenaan dengan agama Islam kita ini kepada ustaz.
Soalannya ialah adakah Allah itu berkuasa dan yang kedua, sembahyang itu
apa hukumnya?”
Kelihatan sang ulama hakikat tersenyum sahaja mendengar soalan itu lantas dengan tahkik beliau menjawab..
“Wahai anak muda ketahuilah yang sebenarnya bahawa Allah itu tidak berkuasa dan sembahyang itu hukumnya adalah haram.”
Terperanjat besar si pemuda mendengar jawapan sang ulama hakikat yang
bersahaja itu. Sukar rasanya si pemuda mahu menghadam jawapan yang baru
disampaikan kepadanya itu. Tanpa berlengah-lengah maka si pemuda itu
mohon undur diri kemudian pulang ke rumahnya dengan seribu persoalan
yang berlegar-legar dibenak kepalanya.
Sebagai seorang muslim taat yang baru hendak menjinak-jinakkan diri
dengan dunia tasawuf, si pemuda berasa keliru dengan jawaban yang
diberikan oleh sang ulama hakikat. Setahu beliau pelajaran tasawuf itu
bersangkutan dengan ilmu hakikat dan ma’rifat. Mendengar jawapan
daripada sang ulama hakikat itu membuatkan si pemuda berasa takut untuk
meneruskan pelajaran tasawuf dengan gurunya dan mengambil keputusan
untuk tidak lagi berguru dengan guru tasawufnya lantas mengambil
keputusan untuk berguru dengan sang ulama syariat. Beliau mulai meragui
perjalanan ilmu hakikat dan dalam hati beliau bergumam..
“Kalau nak dibandingkan dari segi akhlak pun akhlak sang ulama
syariat lebih bagus daripada akhlak sang ulama hakikat. Walaupun sang
ulama syariat hidup dalam keadaan sederhana namun aku dijemput masuk ke
dalam rumahnya lantas dijamu dengan makanan yang enak berbanding sang
ulama hakikat yang kedekut.. sudahlah tidak dijemput masuk ke dalam
rumahnya, setitik air pun tidak diberinya malah dengan dirinya sahaja
pun sudah kedekut. Lihat sahaja pakaiannya yang lusuh itu.”
Keesokkannya, si pemuda dengan tergesa-gesa menuju ke rumah sang
ulama syariat dan menceritakan kepada beliau hasil dialognya dengan sang
ulama hakikat. Mendengar penjelasan si pemuda, sang ulama syariat
berasa marah lantas mengarahkan anak-anak muridnya untuk menangkap sang
ulama hakikat. Maka dengan sekejap sahaja penduduk kampung itu
digemparkan dengan cerita bahawa sang ulama hakikat itu telah membawa
ilmu sesat dikampung itu.
Sang ulama hakikat dapat ditangkap dengan bantuan orang-orang
kampung. Tangannya diikat dibelakang lalu dipaksa untuk berjalan.
Kelihatan terdapat segelintir dari orang-orang kampung yang bertindak
memukul muka dan badan beliau serta tidak kurang juga ada yang melempari
beliau dengan batu-batu kecil kerana tidak dapat menahan rasa marah.
Pun begitu sang ulama hakikat tetap berdiam namun air matanya tak
henti-henti mengalir. Mungkin beliau menahan sakit.
Tiba dihalaman rumah sang ulama syariat lalu dengan kasar tubuh sang
ulama hakikat yang sudah tua itu ditolak dengan keras lantas beliau
terdorong ke depan lalu jatuh tersungkur. Si pemuda yang sedari tadi
menunggu dirumah sang ulama syariat terkejut dengan situasi itu. Beliau
tidak menyangka sampai begitu malang nasib yang menimpa sang ulama
hakikat sehingga diperlaku begitu. Namun apalah dayanya untuk mengekang
kemarahan orang-orang kampung yang sedang meluap-luap itu. Kemudian
setelah meredakan suasana, sang ulama syariat menghampiri sang ulama
hakikat lalu bertanya kepada beliau..
“Benarkah anda menjawab ‘Allah itu tidak berkuasa dan sembahyang itu
hukumnya adalah haram’ sebagai menjawab pertanya pemuda ini?” sambil
jari telunjuknya diarahkan tepat pada si pemuda.
Dengan tenang sang ulama hakikat menjawab “Ya”.
Kemudian sang ulama syariat bertanya lagi.
“Adakah anda masih dengan pendirian anda atau anda mahu bertaubat?”
Tanya sang ulama syariat tegas. Lalu dijawab dengan tenang oleh sang ulama hakikat..
“Untuk kesalahan yang mana lalu saya perlu bertaubat wahai hakim?”
“Untuk kesalahan anda yang mengatakan Allah tidak berkuasa dan sembahyang itu hukumnya haram!”
“Oh begitu.. beginilah tuan hakim, pada saya jawapan saya itulah yang
teramat benar namun jika tuan hakim tidak menyetujuinya tidak apa-apa
dan terserahlah kepada kebijaksanaan tuan hakim untuk mengadili saya
kerana tuan adalah hakim dinegeri ini.”
Habis sahaja sang ulama hakikat berkata begitu lantas beliau
dilempari dengan puluhan sepatu oleh penduduk kampung dan ada juga yang
berteriak agar beliau dibunuh. Sang ulama syariat terdiam dan merenung
dalam seolah-olah memikirkan sesuatu yang berat. Akhirnya sang ulama
syariat membuat keputusan agar sang ulama hakikat diberi tempoh sehingga
esok untuk bertaubat dan jika tidak beliau akan dihukum bunuh. Setelah
itu sang ulama hakikat diikat pada sebatang pokok nangka yang berada
dihalaman rumah sang ulama syariat dalam posisi duduk menghadap kiblat
sambil dikawal oleh beberapa orang-orang kampung.
Kini, saatnya pun telah tiba namun sang ulama hakikat tetap tidak
mahu bertaubat daripada pendiriannya. Ramai yang merasa pelik dengan
pendirian sang ulama hakikat dan yang lebih kusut lagi ialah fikiran si
pemuda itu. Tiba-tiba si pemuda merasa kasihan dan merasa bersalah
mengenang keadaan malang yang menimpa sang ulama hakikat adalah hasil
daripada perbuatannya. Namun nasi sudah menjadi bubur. Perlahan-lahan si
pemuda mendekati sang ulama hakikat untuk memohon maaf. Aneh..
kelihatan sang ulama hakikat itu hanya tersenyum dan dengan senang hati
mahu memaafkan si pemuda. Ketika si pemuda itu mahu beredar tiba-tiba ia
mendengar sang ulama hakikat membacakan sepotong ayat Al Quran dengan
nada yang riang..
“Wa qul jaa alhaq wazahaqol baathil innal baathila kana zahuuqo.”
Ucap beliau berulang-ulang sambil memandang kearah seseorang lantas
mukanya tiba-tiba kelihatan berseri-seri dalam senyuman yang
menggembirakan. Si pemuda lantas menoleh kearah orang itu dan apa yang
beliau lihat ialah kelibat bekas guru tasawuf beliau diantara celahan
penduduk kampung yang ingin menyaksikan hukuman pancung yang bakal
dijalankan. Tak lama kemudian hukuman bunuh pun dilaksanakan maka
tamatlah riwayat sang ulama hakikat dibawah mata pedang sang algojo.
Seluruh penduduk kampung bersorak gembira tanda kemenangan dipihak
mereka yang berjaya membunuh seorang pembawa ajaran sesat.
Selang beberapa hari oleh kerana rasa ingin tahu yang meluap-luap
maka si pemuda bersegera mengadap bekas guru tasawufnya. Si pemuda
berasa hairan mengapa sang ulama hakikat membacakan ayat 81 daripada
surah al-Isra’ seraya melihat kelibat bekas guru tasawufnya itu?.
“Wahai muridku, marilah duduk dihadapanku ini.”
Ujar guru tasawuf seraya melihat kedatangan muridnya itu. Si pemuda
terkedu.. tidak tahu apa yang hendak dikatakan. Fikiran terasa kosong
dan segala persoalan yang hendak diajukan terasa tiba-tiba hilang entah
tertinggal dimana.
“Baiklah muridku, atas persoalanmu yang dahulu itu maka akan aku jawab sekarang ini.”
Lembut sahaja bicaranya.
“Adapun persoalanmu tentang perbezaan antara orang-orang syariat dan
orang-orang hakikat dalam memahami agama Islam akan aku jawab seperti
berikut. Yang pertama, orang syariat akan menjawab setiap persoalan
melalui ‘bahasa’ ilmu syariat manakala orang hakikat akan menjawab
setiap persoalan melalui ‘bahasa’ ilmu hakikat. Jawaban sang ulama
syariat adalah benar menurut ‘bahasa’ ilmu syariat dan jawaban sang
ulama hakikat juga benar menurut ‘bahasa’ ilmu hakikat.”
“bagaimana begitu wahai tuan guru?” Tanya si pemuda.
“Begini… adalah benar apabila sang ulama hakikat memberitahu kamu
bahawa Allah itu tidak berkuasa sebab melalui peraturan ilmu hakikat,
perkataan ‘Allah’ itu adalah dirujuk semata-mata sebagai isim bagi zat
tuhan kita sahaja. Ini bermakna yang berkuasa pada hakikatnya adalah zat
tuhan kita dan bukannya yang berkuasa itu isimNya. Perkataan ‘Allah’
itu pada hakikatnya adalah gelar bagi zat tuhan kita. Adapun gelaran itu
hakikatnya adalah khabar maka khabar tiada ain wujud. Jika sesuatu itu
tiada ain wujudnya maka mustahil dikatakan ia mempunyai kuasa. Adakah
kamu faham?”
Si pemuda mengangguk lemah sambil merenung lantai.
“Adalah sesuatu yang benar juga apabila sang ulama hakikat memberitahu kamu bahawa sembahyang itu hukumnya adalah haram.”
“bagaimana begitu wahai tuan guru?” Tanya si pemuda.
“Begini… sebenarnya tiada ibadat sembah-menyembah dalam agama Islam
namun yang ada Cuma ibadat solat. Ya, ianya adalah solat dan bukannya
sembahyang. Cuba kamu fahamkan betul-betul maksud firman Allah dalam
surah al-Kafirun ayat 6 yang bermaksud “Bagi kamu agama kamu dan bagiku
agamaku”. Ini menunjukkan cara ibadat orang kafir tidak sama langsung
dengan cara ibadat orang muslim. Perkataan sembahyang itu adalah asalnya
terbit daripada upacara ibadat masyarakat hindu-budha untuk menyembah
tuhan yang bernama Hyang. Maka upacara ibadat itu dinamakan upacara
sembahHyang. Solat itu bukan sembah dan tuhan kita bukannya Hyang tetapi
Allah. Jadi kita sebagai orang muslim adalah haram sembahHyang kerana
itu adalah ibadat penganut hindu-budha. Sesungguhnya solat itu bukan
sembah tetapi solat itu ialah sebagaimana yang disabdakan oleh
Rasulullah SAW yang bermaksud, “Apabila seseorang kamu sedang solat
sesungguhnya dia sedang berbicara dengan tuhannya…”.
Si pemuda semakin tertunduk.
“Jadi, adakah kamu sudah faham mengapa sang ulama hakikat itu berkata
bahawa Allah itu tidak berkuasa dan sembahyang itu hukumnya adalah
haram?”
“Ya tuan guru, sekarang barulah jelas.”
“Yang kedua, orang-orang syariat mempelajari ilmu-ilmu hukum maka
mereka menyelesaikan sesuatu masalah juga dengan hukum sementara
orang-orang hakikat mempelajari ilmu-ilmu ma’rifatullah maka mereka
menyelesaikan sesuatu masalah juga dengan Allah.”
Ketika ini lamunan si pemuda menyorot kembali peristiwa yang telah
berlaku dimana kata-kata guru tasawuf itu ada benarnya juga. Memang
benar sang ulama syariat telah menyelesaikan masalah yang berlaku dengan
hukuman bunuh terhadap sang ulama hakikat sedang sang ulama hakikat
menyelesaikan masalah antara dia dan si pemuda itu dengan kemaafan
sesuai dengan sifat tuhan yang Maha Pemaaf dan Maha Pengampun.
“Adapun persoalanmu tentang kenapa ilmu hakikat tidak berkembang-luas
maka akan aku jawab seperti berikut. Tidak berkembang-luasnya ilmu
hakikat adalah disebabkan masih adanya orang-orang yang seperti kamu!”
Bentak sang guru tasawuf yang membuatkan darah si pemuda berderau.
“bagaimana begitu wahai tuan guru?” Tanya si pemuda.
“Kerana kejahilan kamu dalam memahami hal-ehwal hakikat terus sahaja
kamu tanpa usul periksa menghukum sang ulama hakikat sebagai tidak betul
dan berburuk sangka terhadap beliau lalu kamu memfitnahi beliau
dihadapan sang ulama syariat sehingga sang ulama hakikat tertangkap lalu
diseksa dan dipancung oleh kalian. Jika semua ulama hakikat
sewenang-wenangnya dibunuh tanpa usul periksa justeru kerana itulah ilmu
hakikat tidak berkembang-luas.”
“Tapi tuan guru, bagaimana saya tidak terkhilaf sedang akhlak sang
ulama hakikat itu tidak mencerminkan beliau sebagai orang yang beragama!
Sang ulama hakikat langsung tidak menjemputku masuk ke dalam rumahnya
yang besar lagi mewah itu dan langsung tidak memberiku walau setitik air
bahkan dengan dirinya sahaja pun amat kedekut. Lihat sahaja pakaiannya
yang lusuh itu.”
“Awas lidahmu dalam berkata-kata wahai anak muda! Telahku katakan
tadi bahawa kamu memiliki sifat buruk sangka. Ketahuilah bahawa rumah
besar lagi mewah yang kamu lihat itu bukanlah milik sang ulama hakikat
tersebut sebaliknya adalah milik majikan beliau dan beliau hanya
mengambil upah sebagai tukang kebun disitu. Adapun pakaiannya yang lusuh
itu maka itu sahajalah harta benda yang beliau ada dan beliau hidup
hanya untuk mengabdikan dirinya kepada Allah.”
“Bagaimana tuan guru boleh tahu segala yang terperinci tentang sang ulama hakikat itu?”
Tanya si pemuda hairan.
“Kerana orang yang kalian bunuh itu adalah guru tasawufku maka dengan
itu sebutir lagi permata yang indah telah hilang. Telahku jawab semua
persoalanmu maka pergilah kamu kepangkuan guru syariatmu iaitu sang
ulama syariat.”
Si pemuda itu terkejut lantas berkata…
“Tapi wahai guruku, aku telah insaf dan ingin kembali berguru denganmu wahai guruku.. terimalah aku kembali wahai guruku!!”
“Ketahuilah wahai anak muda, aku enggan mengambilmu adalah semata-mata kerana keselamatanmu dan bukan kerana aku membencimu.”
“Aku tidak faham akan maksud tuan guru??”
“Pergi sahajalah kembali kepangkuan sang ulama syariat kerana kamu
akan selamat disana dan jangan kamu sesekali mengaku aku adalah gurumu
kelak kamu akan mengerti akan maksud tindakanku ini.”
Dengan hati yang berat dan sayu si pemuda berjalan menuju ke rumah
sang ulama syariat untuk berguru dengannya dan beliau diterima sebagai
murid. Selang beberapa hari, keadaan kampung tiba-tiba kecoh kembali.
Dengar khabarnya seorang lagi pengamal ilmu sesat telah ditangkap dan
kali ini pengamal ajaran sesat itu berasal dari kampung sebelah. Dari
kejauhan kelihatan berbondong-bondong orang ramai sedang dalam
perjalanan menuju ke rumah sang ulama syariat sambil menyungsung seorang
lelaki yang telah dikenalpasti sebagai pengamal atau guru ajaran sesat.
Dari jauh si pemuda dapat saksikan lelaki itu dipukul dan ditendang
malah ada yang membalingnya dengan batu-batu kecil sehingga pakaiannya
koyak-rabak. Rupa-rupanya lelaki yang pakaiannya telah koyak-rabak itu
adalah sang guru tasawufnya.
Maka mengertilah si pemuda itu akan maksud tindakkan sang guru
tasawuf yang tidak mahu mengambil beliau sebagai anak murid dan beliau
hanya mampu mengalirkan air mata sambil menahan sebak melihat sang guru
tasawuf itu diperlakukan seperti itu. Esoknya hukuman pancung terhadap
sang guru tasawuf itu dilaksanakan maka sebutir lagi permata yang indah
telah hilang sirna dari negeri itu……… Didalam hati si pemuda merintih..
“Ya Allah.. berapa ramaikah lagi ahli tasawuf yang mesti dikorbankan
semata-mata mahu membuatkan aku mengerti mengapa ilmu hakikat tidak
dapat berkembang-luas? Cukup Ya Allah cukup kerana sekarang aku sudah
mengerti….”
Rabu, 24 Oktober 2012
Al-Habib Al-Imam Ali bin Abu Bakar As-Sakran
Zanbal |
sakran berkata:
“Sesungguhnya ketika anakku sedang dalam kandungan telah terkumpul pada
diri Syaikh Ali dua jenis ilmu, akan tetapi hal tersebut
masih tersembunyi dan akan terlihat sebelum rambutnya memutih”. Dan ketika Syaikh Ali lahir berkata kakeknya: “Sesungguhnya kelahiran anak
Abu Bakar adalah kelahiran seorang sufi”. Pada
malam ke tujuh kelahirannya berkata saudaranya Syaikh Abdullah Alaydrus: “Namakan ia dengan Ali”.Sesudah ayahnya wafat beliau diasuh oleh pamannya
Syaikh Umar Muhdhar yang menjaganya dari hal-hal
yang merusak serta mendidiknya dengan kebaikan.
Ketika pamannya wafat, beliau masuk khalwat dan
mendengar suatu perkataan ‘Ya ayyuhannafsu mutmainah irji’i ila robbika rodhiyatammardiyah’ kemudian beliau keluar dari khalwatnya dan
mambaca kitab Ihya Ulumuddin, maka dibacanya
kitab tersebut sampai dua puluh lima kali tamat dan
pada setiap khatam dalam mambaca kitab ,
saudaranya Syaikh Abdullah Alaydrus mengundang para fuqara dan masakin untuk mengadakan tasyakuran.Guru-guru beliau di antaranya Syaikh Saad bin Ali, Syaikh Shondid Muhammad bin Ali Shohib Aidid,
belajar fiqih dan hadits kepada al-Faqih Ahmad bin
Muhammad
Bafadhal. Beliau juga belajar ke Syihir, Gail Bawazir. Di Gail Bawazir
beliau belajar kepada para fuqaha dari keluarga Ba’amar, al-Faqih
Muhammad bin Ali Ba’adillah. al-Allamah Ibrahim bin Muhammad
Baharmiz, Syaikh Abdullah bin Abdullah bin
Abdurahman Bawazir, dan tinggal di sana selama
empat tahun. Setelah itu beliau pergi ke Aden belajar kepada Imam Mas’ud bin Saad Basyahil, kemudian menunaikan ibadah haji ke Baitillah pada tahun 849 hijriyah dan tinggal di rubat Baziyad serta belajar
kepada ulama di kota tersebut. Kemudian beliau
ziarah ke makam Rasulullah saw dan membaca kitab
al-Bukhori kepada Imam Zainuddin Abi Bakar al- Atsmani di masjid nabawi.
Murid-murid Imam Ali di antaranya anak-anaknya
Umar, Muhammad, Abdurahman, Alwi, Abdullah dan
Sayid Umar bin Abdurahman Shahibul Hamra’, Syaikh
Abu Bakar al-Adeni, Syaikh Muhammad bin Ahmad
Bafadhal, Syaikh Qasim bin Muhammad bin Abdullah bin Syaikh Abdullah al-Iraqi, Syaikh Muhammad bin Sahal Baqasyir, Syaikh Muhammad bin Abdurahman Basholi. Imam Ali seorang auliya’ yang mempunyai kefasihan
lidah, terkumpul padanya keutamaan dan kepemimpinan, beliau juga banyak mengkaji kitab ‘Tuhfah’ dan mengamalkan isinya, banyak shalat malam dan sesudahnya beliau banyak menangis, qana’ah, tawadhu’. Di antara keramatnya, jika shalat beliau lupa akan kehidupan duniawi dan tidak pernah
membicarakan dunia dalam majlisnya. Beliau pernah
ditanya oleh gurunya Syaikh Said bin Ali pada keadaan menghadapi sakaratul maut: ‘Apa yang engkau tinggalkan? Beliau menjawab hanya kamar ini.
Berkata saudaranya Abdullah Alaydrus: “Orang yang
paling dekat hatinya kepada Allah adalah hati saudaraku Ali”. Berkata pula Syaikh Abdullah Alaydrus: “Sesungguhnya apa yang ada pada diriku karena saudaraku Ali, jika terbenam sinar matahari
saudaraku Ali, maka terbenam pula sinar matahariku”. Berkata Syaikh Umar Muhdhar kepada anaknya Fathimah sebelum dinikahi dengan Syaikh
Ali: “Wahai Fathimah, nanti engkau akan menikah dengan seorang wali quthub”. Syaikh Muhammad bin Hasan Jamalullail berkata:
“Dalam shalat aku berdoa kepada Allah swt agar
diperlihatkan kepada seseorang yang mempunyai
rahasia-rahasia-Nya dalam zaman ini, maka aku
melihat dalam mimpiku seorang lelaki mengambil tanganku dan membawanya kepada Syaikh Ali”. Imam Ali seorang yang berjalan di atas thariqah
kefakiran yang hakiki, dalam tawafnya beliau berdoa:
“Allahummajlni nisfal faqir” , tidak mempunyai perasaan benci kepada satu orang pun, membaca hizib di antara isya dan setelah fajar hingga terbit matahari, beliau hafal alquran dalam waktu empat puluh hari. Kitab yang telah dibacanya: Riyadhus Salihin, Minhajul Abidin, al-Arbain, Risalah al-
Qusyairiyah, al-Awarif al-Ma’arif, I’lamul Huda, Bidayatul Hidayah, al-Muqtasid al-Asna, al-ma’rifah, Nasyrul Mahatim, Sarah Asmaul Husna dan lainnya. Sebagaian ulama berkata: “Sesungguhnya memandang beliau menghilangkan kekotoran jiwa, salah satu keistimewaan beliau dapat meruntuhkan
gunung, kedudukan dan rahasia al-Faqih al-Muqaddam terdapat padanya”. Berkata Imam Nuhammad bin Ali Khirid: “Memandang beliau adalah obat bagi yang melihat dan perkataannya obat penawar yang mujarrab”.
Imam Ali wafat pada hari Minggu tanggal dua belas Asysyuro tahun 895 hijriyah dalam usia 77 tahun. Keluarga Habib Ali bin
Abu BAKAR AS-SAKRAN Syaikh al-Imam Ali Bin Abi Bakar As-Sakran (Syaikh al-Thoriqain Wa Mufti al-Fariqoin), wafat di Tarim tahun 895 H. Maqamnya bersebelahan dengan
makam pamannya Syaikh Umar Muhdhar. Beliau dikarunia tujuh orang anak laki dan lima anak perempuan, yaitu: Anak perempuannya:
1. Al-waliyah Bahiyah (ibu Ahmad al-Musawa dan Fathimah bt.Abi Bakar al-Adeni)
2. Alwiyah (ibu anak-anak Muhammad Ar-Rahilah)
3. Ruqayah (ibu Aisyah bt. Abdurahman Bamagfun)
4. Maryam 5. Aisyah Anak laki-lakinya:
1. Abdurahman 2.Muhammad Mihdhar. ibunya Fathimah bt. Syaikh Umar
3. Umar
4. Abdullah (anaknya bernama Musyayyah lahir di
Tarim dan wafat tahun 976 H, keluarga Musyayyah di
India, Habasyah dan di Jawa) 5. Alwi (wafat tahun 797 H)
6. Hasan (wafat tahun 952 H)
7.
Abu Bakar (keturunannya terputus,wafat th 920 H) 1. Syaikh Muhammad Bin
Ali bin Abi Bakar As-Sakran. Beliau wafat di Tarim tahun 902 H.
Keturunannya adalah:
a. Aal Abdullah bin Alwi (Rubat Yaman)
b. Aal Muhammad bin Alwi (Yaman)
c. Aal Saqqaf bin Umar (Khamilah) d. Aal Abu Bakar al-Irosyah (Abyan,
Lihij, Guyus, India) 2. Syaikh Umar Bin Ali bin Abi Bakar As-Sakran.
Beliau wafat di Wahath tahun 899 H. Keturunannya di
Yaman, Makhodir, Rubat Shofa, Hanfar, Abin dan Bilad
Rishos. 3. Syaikh Abdullah bin Ali Bin Abi Bakar As-Sakran.
Beliau wafat di Tarim tahun 941 H. Ayah dari Syaikh
Musyayyah, dan dikaruniai dua orang anak laki, bernama:
a. Abdullah (keturunannya di India, Malabar dan Hijaz)
b. Abdurahman (keturunannya di Habasy dan Jawa). 4. Syaikh Hasan Bin Ali Bin Abi Bakar As-Sakran. Beliau wafat di Tarim tahun 956 H. Dikaruniai tiga orang anak laki, bernama:
a. Muhammad al-Qadhi (wafat di Tarim tahun 973,
keturunannya terputus)
b. Umar (wafat tahun 1007 H) c. Ali. 5. Syaikh Abdurahman Bin Ali Bin Abi Bakar As-Sakran.
Beliau wafat tahun 923 H. Dikaruniai tiga orang anak laki, bernama:
a. As Syech Al Imam Ahmad Syahabuddin (wafat
tahun 946 H), mempunyai tiga orang anak: Uraian mengenai keturunan As Syech Al Imam
Ahmad Syahabuddin Al Akbar As Syech Al Imam Ahmad Shahabuddin Al Akbar,
lahir 887 H dan wafat di Tarim tahun 946 H.
mempunyai 3 orang putra, yakni:
Umar, wafat di Tarim 957 H. keturunannya ada di Tarim. Mempunyai 4 orang putra yaitu :
1. Husin, wafat di Tarim 997 H, mempunyai 4 orang putra kemudian terputus.
2. Ali, wafat di Tarim 991 H, keturunannya terputus pada generasi ke 3.
3. Abdullah, wafat di Makkah 992 H, keturunannya terputus pada generasi kedua.
4. Syahabuddin, wafat 982 H mempunyai 3 orang putra yakni:
• Abdurrahman, keturunannya terputus.
• Muhammad, keturunannya terputus.
• Umar Al Mahjub, keturunannya tersebar ke Malabar, Taliwang (Sumbawa), Dzofar (Oman), Palembang,
Gresik, Tarbeh, India dan Abi Aris.
Muhammad Al Hadi As Syahid, wafat Syahid di India
971 H. Mempunyai 4 orang putra yaitu:
1. Alwi, terputus.
2. Ahmad, mempunyai anak Umar Al Mahzub, terputus.
3. Husin, keturunannya dalam jumlah kecil tersebar di Aden dan Tarim.
4. Idrus, keturunannya masuk India kemudian
tersebar ke Pekalongan, Bulungan, Singapura, Bogor,
Jakarta dan Palembang. Keturunan ini sebagian besar memakai gelar Syahabuddin/Shahab, sebagian kecil memakai gelar Al Hadi Al Ahmad Syahabuddin Al Akbar.
Abdurrahman Al Qadhi, lahir 944 dan wafat di Tarim 1041 H. Mempunyai 5 orang putra yakni:
1. Abubakar, wafat di Tarim 1061 H, keturunannya tersebar di Malabar, Jakarta, Pekalongan, India dan Palembang.
2. Umar, mempunyai anak Abdullah (wafat di Besuki 1067 H), Abdullah mempunyai anak Muhammad
(wafat 1088 H), keturunannya terputus.
3. Muhammad Al Hadi, wafat di Tarim 1040 H, keturunannya tersebar di Aden, Malaka, Gresik,
Malabar, Tarim, Bogor, Pulau Pinang, Banjarmasin, Samarinda, Sumbawa, Ampenan, Surabaya dan Palembang.
4. Abdullah, datuk dari Al Hadi bin Ahmad yang ada di
Malabar. 5. Ahmad Syahabuddin Al Asghor, wafat di Tarim
1036 H, mempunyai 4 orang putra yakni:
• Umar, terputus.
• Abdullah, terputus.
• Husin, keturunannya terputus.
• Muhammad, wafat di Tarim 1100 H. mempunyai 4 orang putra yakni:
1. Idrus, wafat di Tarim 1163 H. keturunannya
menyebar di Malaka, Kedah, Pulau Penang,
Palembang (Pegayut). Kelompok ini dipanggil dengan
Al Zein bin Idrus Syahabuddin.
2. Ali, wafat di Tarim 1104 H. mempunyai 4 orang putra yakni :
• Ahmad, wafat waktu kecil di India, terputus.
• Muhdhor, keturunannya terputus pada generasi ke 2.
• Idrus, wafat di Tarim Jumadil Awwal 1128 H,
kelompok ini di panggil dengan Al Bin Idrus Syahabuddin. keturunannya tersebar di Tarim, Gresik, Jakarta, Pekalongan, Dhamun (Hadramaut), Solo,
Singapura, Surabaya, Batu Pahat (Kalimantan), dan Palembang.
• Muhammad wafat tahun 1107 H mempunyai 3
orang putra yakni: i. Ahmad, (wafat di Thoif), mempunyai seorang putri,
keturunannya terputus.
ii. Syech, wafat di Tarim 1173 H. keturunannya
tersebar di Tarim, Bogor, Jakarta, Banyuwangi,
Dhamun (Hadramaut), Pekalongan, Bangka dan dalam
jumlah yang sangat besar di Palembang. Di dalam keluarga Syahabuddin, keluarga ini disebut
Syahabuddin Al bin Syech. iii. Husin, wafat di Tarim 1144 H. keturunannya
tersebar di Pulau Penang, Kedah, Banjarmasin,
Pekalongan,
Muar (Malaysia), Cirebon, Toboali (Bangka), Jakarta, Semarang,
Singapura, Madura, India, Amman dan dalam jumlah yang sangat besar
mereka ada di Palembang. Di dalam keluarga Syahabuddin, keluarga ini disebut Syahabuddin Al bin Husin. Al Habib Husin ini berputra 2 yaitu:
• Muhammad Az Zhahir (wafat di Palembang),
keluarga ini disebut sebagai “Syahabuddin Az Zhahir bin Husin”
• Abdullah, wafat di Tarim 1183 H.
Di dalam keluarga Syahabuddin keluarga ini disebut
“Syahabuddin Al bin Husin”
3.
Umar, wafat di India, keturunannya dalam jumlah sedikit ada di Oman. 4.
Ahmad Syahabuddin, mempunyai anak Muhammad Al Masyhur (datuk dari Al
Habib Mufti Hadramaut
shohibul Fatwa As Syech Abdurrahman bin Muhammad bin Husin Al Masyhur). keturunannya ada
di
Jakarta, Singapura, Surabaya, Sailon, Tarim, Sumenep, Palembang dan
Batu Pahat (Banjarmasin). Keluarga ini didalam ilmu nasab disebut “Al
Masyhur Syahabuddin”.
b. Muhammad al-Faqih (wafat tahun 973 H), keturunannya:
1. Aal Umar Faqih (Deli-Medan, Jawa)
2. Aal Abdullah dan Husin (shohib Bathiha’, keturunannya terputus)
3. Aal Muhammad al-Tamar (Malabar, Madinah)
c. Abu Bakar, keturunannya:
1. Aal Ruus (Qasyan)
2. Aal Ahmad bin Abi Bakar (Taiz, Mukallah)
3. Aal Ahmad bin Idrus (Shohib Khoris) KELUARGA HASAN BIN ALI BIN ABI BAKAR AS-SAKRAN Hasan bin Ali mempunyai anak bernama: Umar, beliau dikarunia tiga orang anak, bernama:
1. Ali (kakek Al Ba Hasan di Tarim, Jawa dan
Kalimantan), mempunyai seorang anak laki bernama:
• Al-allamah Abdullah (shohibul Wahath, wafat tahun 1037 H), keturunannya adalah keluarga al-Wahath.
2. Hasan (kakek Usman bin Abdurahman, ayah dari Sultan Siak,
keluarganya dikenal dengan keluarga Bin Shahab)
3. Muhammad (keturunannya di Sawahil, Siwi dan Zanjibar, wafat tahun 1019 H)
Senin, 22 Oktober 2012
Manaqib Al-Imam Al-Faqih Muqaddam Muhammad bin Ali Ba'Alawi ra
Beliaulah Sayyidunal Imam Al Faqih Al Muqaddam Muhammad bin Ali bin
Muhammad Shahib Mirbat, jadi Imam Muhammad bin Ali Shahib Mirbat
merupakan sosok Imam yang menyatukan seluruh guru-guru tarikat sufi dan
asal-usul para pembesar ahli hakikat dari kalangan Bani Alawy, sedangkan
Sayyiduna Faqih Muqaddam adalah guru dan imam bagi para guru tersebut
bahkan mahaguru dan imam bagi setiap guru dan imam, inilah yang di
ungkapkan oleh penyusun qosidah ini (Habib Abdullah bin Alawi Al Haddad)
menyebut beliau sebagai Syeikhus Syuyukh (mahaguru).
Dan beliau adalah seorang Arif Billah yang mengenal hukum-hukum Allah dan kebesaran-kebesaran Allah, memiliki pengetahuan luas akan berbagai ilmu pengetahuan dan berbagai lautan ma’rifat yang dalam.
Beliaulah tokoh para ulama besar, suri tauladan bagi para arifin, guru bagi para muhaqqiqin, pembimbing para salikin, poros utama bagi para wali sufi, imam para imam umat Muhammad, pemimpin kalangan Bani Alawy, sumber daerah kewalian Rabbani, pusat kekeramatan yang luar biasa, pemilik biografi yang tinggi, diakui kesempurnaannya dalam kedudukan imam ahlu sunnah sebelum memasuki tarekat tasawuf, beliaulah Abu Abdillah Jamaluddin Muhammad bin Ali bin Al Imam Muhammad bin Ali bin Alwy bin Muhammad bin Alwy bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-’Uraidli bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al Husain As Sibit bin Al Imam Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib ra.
Beliau merupakan salah satu pasak utama tarikat tasawuf dan tokoh ulama besar, Allah menampakkan pada diri beliau tanda-tanda kebesaran, mengalirkan melalui ucapannya berbagai macam hikmah dan membukakan baginya rahasia-rahasia ghaib.
Orang-orang yang menimba ilmu dari beliau adalah para Imam besar dari kalangan ahli fiqih, guru-guru tasawuf dan orang-orang shaleh, beliau berhasil menelurkan para imam besar dari kalangan auliya’ dan asfiya’ yang banyak sekali jumlahnya, disamping banyak para salikin yang menjadi murid beliau, beliau disepakati keimamannya.
Seluruh imam di masanya mengakui keunggulannya dan kesempurnaan keimaman dan sifat warisan Nabawi yang agung pada diri beliau, mereka melihat pada diri beliau sifat-sifat para Khulafa’ Rasyidin, tanda-tanda para Siddiqin, rahasia para Muqarrabin dan keistimewaan para ulama besar lainnya.
Permulaan beliau ibarat terminal akhir bagi ulama ahli tarekat yang setingkat beliau, beliau di berikan kekokohan yang sangat kuat dan kemantapan dalam kesempurnaan tauhid dan hakikat keyakinan yang belum pernah dianugerahkan kepada para wali Qutub Al Arifin dan Muqarrabin selain beliau, hal ini diakui oleh para ahli kasyaf bahwa setiap saat beliau senantiasa mabuk karena minuman cinta yang murni kepada Allah, hingga di akhir umurnya beliau mendapat berbagai anugerah yang sangat agung dan penyaksian hakikat serta anugerah rahasia Ladunni yang sangat besar, hal ini menyebabkan beliau hilang kesadaran selama ‘seratus malam’ beliau berdiri tenggelam dalam lautan-lautan rahasia illahi, hilang dari apapun yang selain Tuhannya, senantiasa
melazimi-Nya tanpa makan dan minum.
Di saat tidak sadarkan diri itu dikatakan pada beliau:
“Kullu Nafsin Dzaa-iqotul Maut.”
“Setiap jiwa pasti akan merasakan kematian.” (Qs. Ali Imran: 185).
Beliau menjawab: “Aku tidak memiliki jiwa, dikatakan lagi:
“Kullu Man ‘Alayhaa Faan.”
“Dan apa saja yang ada di atas bumi akan lenyap.” (Qs. Ar Rahman: 26).
Beliau menjawab: “Aku tidak di atasnya.”
Dikatakan lagi:
“Kullu Syay-in Haalikun Illaa Wajhahu.”
“Segala sesuatu akan binasa, kecuali Dzat Allah.” (Qs. Al Qashash: 88).
Beliau menjawab: “Aku besasal dari cahaya wajah-Nya.”
Dalam keadaan dibawah titik kesadaran itu beliau mengabarkan hal-hal ghaib yang akan terjadi di masa depan, rahasia-rahasia illahi dan ilmu-ilmu alam malakut, dalam keadaan itu beliau mengabarkan bahwa akan terjadi kebakaran besar di Baghdad dan khalifah yang berkuasa akan terbunuh, ternyata apa yang beliau kabarkan terjadi, beliau juga memberitahu tentang banjir bandang yang akan terjadi, beliau mengatakan: “Sesungguhnya lautan telah mengalami air pasang besar,” ternyata terjadilah banjir bandang di Hadhramaut yang memakan korban sekitar empat ratus jiwa dan menghancurkan beberapa kota, banjir ini disebut dengan Jahisy.”
Selain di Hadhramaut juga terjadi banjir bandang di Baghdad tepatnya pada bulan Jumadil Akhir tahun 654 H kala itu sungai Dajlah mengalami air pasang hingga menjebol bendungan dan pintu kota yang
menghancurkan rumah menteri dan para Punggawa khalifah semuanya sekitar 330 rumah dan menelan banyak korban jiwa akibat terkena reruntuhan rumah di samping banyak korban lainnya yang tenggelam dalam kejadian itu, peristiwa ini diceritakan oleh Sayyid Al Allamah Muhammad bin Abu Bakar Syillih dalam kitab Masyra’ Rawi, beliau telah menyebutkan bahwa Sayyidina Faqih Muqaddam menyebutkan kejadian banjir yang akan terjadi di Baghdad itu saat beliau dalam keadaan dibawah titik kesadaran itu, beliau juga mengabarkan akan terjadi kebakaran di masjid Nabawi dan ternyata di hari pertama bulan Ramadhan sekitar tahun 656 H terjadilah kebakaran di masjid itu, beliau juga memberitahukan tentang serbuan tentara Tatar dan khalifah akan terbunuh pada bulan Shafar tahun 650 H.
Dikarenakan dirasa terlalu lama oleh anak-anaknya masa ketidak sadaran beliau, mereka memaksa beliau untuk memakan sesuatu tetapi beliau menolak, bahkan di hari terakhir kehidupannya mereka memaksa dengan memasukkan makanan dalam perut beliau, ketika makanan itu masuk dalam perutnya mereka mendengar suara yang mengatakan: “Bila kalian merasa keberatan terhadapnya sesungguhnya kami yang akan menerimanya, bila kalian membiarkannya tidak makan pasti ia akan terus hidup.”
Menurut riwayat lain: “Ketika beliau merasa adanya makanan yang masuk dalam perut, beliau membuka mata dan dan bertanya: “Apa kalian merasa berat terhadapku?” Setelah itu beliau meninggal dunia, semoga Allah merahmati beliau dan merahmati kita semua berkat beliau serta tidak mengharamkan kita mendapatkan berkahnya di dunia dan akhirat, berikut orang tua, guru-guru dan kerabat kita semua, aamiin..
Dan beliau adalah seorang Arif Billah yang mengenal hukum-hukum Allah dan kebesaran-kebesaran Allah, memiliki pengetahuan luas akan berbagai ilmu pengetahuan dan berbagai lautan ma’rifat yang dalam.
Beliaulah tokoh para ulama besar, suri tauladan bagi para arifin, guru bagi para muhaqqiqin, pembimbing para salikin, poros utama bagi para wali sufi, imam para imam umat Muhammad, pemimpin kalangan Bani Alawy, sumber daerah kewalian Rabbani, pusat kekeramatan yang luar biasa, pemilik biografi yang tinggi, diakui kesempurnaannya dalam kedudukan imam ahlu sunnah sebelum memasuki tarekat tasawuf, beliaulah Abu Abdillah Jamaluddin Muhammad bin Ali bin Al Imam Muhammad bin Ali bin Alwy bin Muhammad bin Alwy bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-’Uraidli bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al Husain As Sibit bin Al Imam Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib ra.
Beliau merupakan salah satu pasak utama tarikat tasawuf dan tokoh ulama besar, Allah menampakkan pada diri beliau tanda-tanda kebesaran, mengalirkan melalui ucapannya berbagai macam hikmah dan membukakan baginya rahasia-rahasia ghaib.
Orang-orang yang menimba ilmu dari beliau adalah para Imam besar dari kalangan ahli fiqih, guru-guru tasawuf dan orang-orang shaleh, beliau berhasil menelurkan para imam besar dari kalangan auliya’ dan asfiya’ yang banyak sekali jumlahnya, disamping banyak para salikin yang menjadi murid beliau, beliau disepakati keimamannya.
Seluruh imam di masanya mengakui keunggulannya dan kesempurnaan keimaman dan sifat warisan Nabawi yang agung pada diri beliau, mereka melihat pada diri beliau sifat-sifat para Khulafa’ Rasyidin, tanda-tanda para Siddiqin, rahasia para Muqarrabin dan keistimewaan para ulama besar lainnya.
Permulaan beliau ibarat terminal akhir bagi ulama ahli tarekat yang setingkat beliau, beliau di berikan kekokohan yang sangat kuat dan kemantapan dalam kesempurnaan tauhid dan hakikat keyakinan yang belum pernah dianugerahkan kepada para wali Qutub Al Arifin dan Muqarrabin selain beliau, hal ini diakui oleh para ahli kasyaf bahwa setiap saat beliau senantiasa mabuk karena minuman cinta yang murni kepada Allah, hingga di akhir umurnya beliau mendapat berbagai anugerah yang sangat agung dan penyaksian hakikat serta anugerah rahasia Ladunni yang sangat besar, hal ini menyebabkan beliau hilang kesadaran selama ‘seratus malam’ beliau berdiri tenggelam dalam lautan-lautan rahasia illahi, hilang dari apapun yang selain Tuhannya, senantiasa
melazimi-Nya tanpa makan dan minum.
Di saat tidak sadarkan diri itu dikatakan pada beliau:
“Kullu Nafsin Dzaa-iqotul Maut.”
“Setiap jiwa pasti akan merasakan kematian.” (Qs. Ali Imran: 185).
Beliau menjawab: “Aku tidak memiliki jiwa, dikatakan lagi:
“Kullu Man ‘Alayhaa Faan.”
“Dan apa saja yang ada di atas bumi akan lenyap.” (Qs. Ar Rahman: 26).
Beliau menjawab: “Aku tidak di atasnya.”
Dikatakan lagi:
“Kullu Syay-in Haalikun Illaa Wajhahu.”
“Segala sesuatu akan binasa, kecuali Dzat Allah.” (Qs. Al Qashash: 88).
Beliau menjawab: “Aku besasal dari cahaya wajah-Nya.”
Dalam keadaan dibawah titik kesadaran itu beliau mengabarkan hal-hal ghaib yang akan terjadi di masa depan, rahasia-rahasia illahi dan ilmu-ilmu alam malakut, dalam keadaan itu beliau mengabarkan bahwa akan terjadi kebakaran besar di Baghdad dan khalifah yang berkuasa akan terbunuh, ternyata apa yang beliau kabarkan terjadi, beliau juga memberitahu tentang banjir bandang yang akan terjadi, beliau mengatakan: “Sesungguhnya lautan telah mengalami air pasang besar,” ternyata terjadilah banjir bandang di Hadhramaut yang memakan korban sekitar empat ratus jiwa dan menghancurkan beberapa kota, banjir ini disebut dengan Jahisy.”
Selain di Hadhramaut juga terjadi banjir bandang di Baghdad tepatnya pada bulan Jumadil Akhir tahun 654 H kala itu sungai Dajlah mengalami air pasang hingga menjebol bendungan dan pintu kota yang
menghancurkan rumah menteri dan para Punggawa khalifah semuanya sekitar 330 rumah dan menelan banyak korban jiwa akibat terkena reruntuhan rumah di samping banyak korban lainnya yang tenggelam dalam kejadian itu, peristiwa ini diceritakan oleh Sayyid Al Allamah Muhammad bin Abu Bakar Syillih dalam kitab Masyra’ Rawi, beliau telah menyebutkan bahwa Sayyidina Faqih Muqaddam menyebutkan kejadian banjir yang akan terjadi di Baghdad itu saat beliau dalam keadaan dibawah titik kesadaran itu, beliau juga mengabarkan akan terjadi kebakaran di masjid Nabawi dan ternyata di hari pertama bulan Ramadhan sekitar tahun 656 H terjadilah kebakaran di masjid itu, beliau juga memberitahukan tentang serbuan tentara Tatar dan khalifah akan terbunuh pada bulan Shafar tahun 650 H.
Dikarenakan dirasa terlalu lama oleh anak-anaknya masa ketidak sadaran beliau, mereka memaksa beliau untuk memakan sesuatu tetapi beliau menolak, bahkan di hari terakhir kehidupannya mereka memaksa dengan memasukkan makanan dalam perut beliau, ketika makanan itu masuk dalam perutnya mereka mendengar suara yang mengatakan: “Bila kalian merasa keberatan terhadapnya sesungguhnya kami yang akan menerimanya, bila kalian membiarkannya tidak makan pasti ia akan terus hidup.”
Menurut riwayat lain: “Ketika beliau merasa adanya makanan yang masuk dalam perut, beliau membuka mata dan dan bertanya: “Apa kalian merasa berat terhadapku?” Setelah itu beliau meninggal dunia, semoga Allah merahmati beliau dan merahmati kita semua berkat beliau serta tidak mengharamkan kita mendapatkan berkahnya di dunia dan akhirat, berikut orang tua, guru-guru dan kerabat kita semua, aamiin..
Manaqib Al-Imam As-Sayyid Ahmad Badawi
Makam Sayyid Ahmad Badawi |
Setiap hari, dari pagi hingga sore, sayidi Ahmad Badawi menatap
matahari, sehingga kornea matanya merah membara. Apa yang dilihatnya
bisa terbakar, khawatir terjadinya hal itu, saat berjalan ia lebih
sering menatap langit, bagaikan orang yang sombong. Sejak masa kanak
kanak, ia suka berkhalwat dan riyadhoh, pernah empat puluh hari lebih
perutnya tak terisi makanan dan minuman. Ia lebih memilih diam dan
berbicara dengan bahasa isyarat, bila ingin berkomunikasi dengan
seseorang. Ia tak sedetikpun lepas dari kalimat toyyibah, berdzikir dan
bersholawat. Dalam perjalanan riyadhohnya, ia pernah tinggal di loteng
negara Thondata selama 12 tahun, dan selama 8 tahun ia berada diatas
atap, riyadhoh siang dan malam.
Beliau hidup pada tahun 596-675 H dan wafat di Mesir, makamnya di
kota Tonto, yang setiap waktunya tak pernah sepi dari peziarah. Pada
usia dini ia telah hafal Al-Qur’an, untuk memperdalam ilmu agama ia
berguru kepada Syeikh Abdul Qadir al-Jailani dan syeikh Ahmad Rifai. Ia
adalah Waliullah Qutbol Gaust, Assayyid, Assyarif Ahmad al Badawi. Suatu
hari, ketika sang Murid telah sampai ketingkatannya, Syech Abdul Qodir
Jaelani, menawarkan kepadanya ; ”Manakah yang kau inginkan ya Ahmad
Badawi, kunci Masyriq atau Magrib, akan kuberikan untukmu”, hal yang
sama juga diucapkan oleh gurunya Sayyid Ahmad Rifai, dengan lembut, dan
menjaga tatakrama murid kepada gurunya, ia menjawab; ”Aku tak mengambil
kunci kecuali dari Al Fattah (Allah )”.
Suatu hari datang kepadanya, seorang janda mohon pertolongan, anak
lelakinya ditahan di Perancis, dan sang ibu ingin agar anak itu kembali
dalam keadaan selamat. Oleh Sayyidi Ahmad Al Badawi, janda itu
disuruhnya untuk pulang, dan berkata sayidi Ahmad Badawi: “Insya Allah
anak ibu sudah berada dirumah”. Bergegas sang ibu menuju rumahnya, dan
betapa bahagia, bercampur haru, dan penuh keheranan, ia dapati anaknya
telah berada di rumah dalam keadaan terbelenggu. Sayyidi aAhmad Badawi
banyak menolong orang yang ditahan secara zalim oleh penguasa Prancis
saat itu, dan semua pulang ke rumahnya dalam keadaan tangannya tetap
terbelenggu.
Pernah suatu ketika Syaikh Ibnul Labban mengumpat Sayyidi Ahmad
Badawi, seketika itu juga hafalan Al-Qur’an dan iman Syaikh Ibnul Labban
menjadi hilang. Ia bingung dan berusaha dengan beristighosah dan
meminta bantuan do’a, orang orang terkemuka di zaman itu (agar ilmu dan
imannya kembali lagi), tetapi tidak satupun dari yang dimintainya doa,
berani mencampuri urusannya, karena terkait dengan Sayyidi Ahmad Badawi.
Padahal diriwayatkan, saat itu Sayyidi Al Badawi telah wafat. Orang
terkemuka yang dimintainya doa, hanya berani memberi saran kepada Syaikh
Ibnul Labban, agar dia menghadap Syeikh Yaqut al-‘Arsyiy, waliullah
terkemuka pada saat itu, dan kholifah sayyidi Abil Hasan As-Syadzili.
Ibnu Labban segera menemui Syech Yaqut dan minta pertolongannya, dalam
urusannya dengan sayyidi Ahmad Al-Badawi. Setelah dimintai pertolongan
oleh Syaikh Ibnul labban, Syeikh Yaqut Arsyiy berangkat menuju ke makam
Sayyidi al-Badawi dan berkata : “ Wahai guru, hendaklah tuan memberi
ma’af kepada orang ini!”. Dari dalam makamnya, terdengar jawaban “Apakah
kamu berkehendak untuk mengembalikan tandanya orang miskin itu ?
ya…sudah, tapi dengan syarat ia mau bertaubat”. Syeikh Ibbnul Labbanpun
akhirnya bertaubat, dan tidak lama kemudian kembalilah ilmu dan imannya
seperti sedia kala dan ia juga mengakui kewalian Syeikh Yaqut, karena
peristiwa tersebut. Ia kemudian dinikahkan dengan putrinya Syeikh Yaqut.
(Di ambil dari kitab al-Jaami’).
Syeikh Muhammad asy-Syanawi menceritakan, bahwa pada waktu itu ada
orang yang tidak mau menghadiri dan bahkan mengingkari peringatan
maulidnya Syeikh Ahmad Badawi, maka seketika hilanglah iman orang itu
dan menjadi merasa tidak senang terhadap agama Islam. Orang itu kemudian
berziarah ke makamnya Sayyid Badawi untuk minta tolong dan memohon maaf
atas kesalahannya. Kemudian terdengarlah suara sayyidi Badawi dari
dalam kubur : “iya, saya ma’afkan, tapi jangan berbuat lagi. Na’am (iya)
jawab orang itu, spontan imannya kembali lagi. Beliau lalu meneruskan
ucapannya : “Apa sebabnya kamu mengingkari kami semua”. Dijawabnya :
“Karena di dalam acara itu banyak orang laki-laki dan perempuan
bercampur baur menjadi satu” (tanpa ada garis pembatas). Sayyidi Badawi
lalu mengatakan : “Di tempat thowaf sana, dimana banyak orang yang
menunaikan ibadah haji disekitar Ka’bah, mereka juga bercampur laki-laki
dan perempuan, kenapa tidak ada yang melarang”. Demi mulianya Tuhanku,
orang-orang yang ada untuk menghadiri acara maulidku ini tidaklah ada
yang menjalankan dosa kecuali pasti mau bertaubat dan akan bagus
taubatnya. Hewan-hewan di hutan dan ikan-ikan di laut, semua itu dapat
aku pelihara dan kulindungi diantara satu dengan lainnya sehingga
menjadi aman dengan izin Allah. Lalu, apakah kiranya Allah Ta’ala, tidak
akan memberi aku kekuatan untuk mampu menjaga dan memelihara
keamanannya orang-orang yang menghadiri acara maulidku itu ? ”Suatu
ketika Syeikh Ibnu Daqiq berkumpul dengan Sayyidi Badawi, dan ia
bertanya kepada beliau : “Mengapa engkau tidak pernah sholat, yang
demikian itu bukanlah perjalanannya para shalihin“. Lalu beliau menjawab
: “Diam kamu! Kalau tidak mau diam aku hamburkan daqiqmu (tepung)”. Dan
di tendanglah Syeikh Daqiq oleh beliau hingga berada disuatu pulau yang
luas dalam kondisi tidak sadarkan diri. Setelah sadar, iapun termangu
karena merasa asing dengan pulau tersebut. Dalam kebingungannya,
datanglah seorang lelaki menghampirinya dan memberi nasehat agar jangan
mengganggu orang type syekh al-Badawi, dan sekarang kamu berjalanlah
menuju qubah yang terlihat itu, nanti jika sudah tiba di sana kau
berhentilah di depan pintu hingga menunggu waktu ‘ashar dan ikutlah
shalat berjamaah dibelakangnya imam tersebut, sebab nanti syaikh Ahmad
Badawi akan ikut di dalamnya. Setelah bertemu dia ucapkanlah salam,
peganglah lengan bajunya dan mohonlah ampun atas ucapanmu tadi. Ia
menuruti kata-kata orang itu yang tidak lain adalah waliyullah Khidir
a.s. Setelah semua nasehatnya dilaksanakan, betapa terkejutnya ia karena
yang menjadi imam sholat waktu itu adalah Sayyidi Badawi. Setelah
selesai sholat ia langsung menghampiri dan menciumi tangan dan menarik
lengan Sayyidi al-Badawi, sambil berkata seperti yang diamanatkan orang
tadi. Dan berkatalah Sayyidi Ahmad Badawi sambil menendang Syeikh
Daqiq,” Pergilah sana murid-muridmu sudah menantimu dan jangan kau
ulangi lagi!. Seketika itu juga ia sudah sampai di rumahnya dan
murid-muridnya telah menunggu kedatangan Syeikh Daqiq. Dijelaskan bahwa
yang menjadi makmum sholat berjamaah dengan Sayyidi Badawi pada kejadian
itu adalah para wali.
Syekh Imam al Munawi berkata : “Ada seorang Syeikh yang setiap akan
bepergian selalu berziarah di makamnya Syeikh Ahmad al-Badawi untuk
minta ijin, lalu terdengar suara dari dalam kubur dengan jelas :”Ya
pergilah dengan tawakkal, Insya Allah niatmu berhasil, kejadian tersebut
didengar juga oleh Syeikh abdul wahab Assya’roni, padahal saat itu
Syeikh Ahmad al-Badawi sudah meninggal 200 tahun silam, jadi para aulia’
itu walaupun sudah meninggal ratusan tahun, namun masih bisa emberi
petunjuk.
Berkata Syeikh Muhammad al-Adawi : Setengah dari keindahan keramat
beliau ialah, pada saat banyaknya orang yang ingin berusaha membatalkan
peringatan maulidnya beliau, dimana orang-orang tersebut menghadap dan
meminta kepada Syeikh Imam Yahya al-Munawiy agar beliau mau
menyetujuinya. Sebagai orang yang berpengaruh dan berpendirian kuat pada
masa itu, Syeikh Yahya tidak menyetujuinya, akhirnya orang-orang
tersebut melapor kepada sang raja azh-Zhohir Jaqmaq. Sang rajapun
berusaha membujuk agar Syeikh Yahya bersedia memberi fatwa untuk
membatalkan maulidnya Sayyidi Ahmad Badawi. Akan tetapi Syeikh Yahya
tetap tidak mau dan hanya bersedia memberikan fatwa melarang
keharaman-keharaman yang terjadi di acara itu. Maka acara maulid tetap
dilaksanakan seperti biasa. Dan Syeikh Yahya bekata kepada sang raja:
“Aku tetap tak berani sama sekali berfatwa yang demikian, karena Sayyidi
Badawi adalah wali yang agung dan seorang fanatik (nguwalati= bahasa
jawanya). Hai raja, tunggu saja, kamu akan tahu akibat bahayanya
orang-orang yang berusaha menghilangkan peringatan maulid Sayyidi Ahmad
Badawi. Memang benar, tak lama kemudian mereka yang bertujuan
menghilangkan peringatan maulid Sayyidi Badawi tertimpa bencana.
Orang-orang tersebut ada yang dicopot jabatannya dan diasingkan oleh
rajanya. Ada yang melarikan diri ke Dimyath akan tetapi kemudian ditarik
kembali dan diberi pengajaran, dirantai dan dipenjara selama setengah
bulan. Bahkan diantara mereka yang mempunyai jabatan tinggi dikerajaan
itu lalu banyak yang ditangkap, disidang dengan kelihatan terhina,
disiksa dan diborgol besi di depan majlis hakim syara’ lalu dihadapkan
raja yang kemudian dibuang di negara Maghrib.
Sayyidi Ahmad Badawi pernah berkata kepada seseorang : “Bahwa pada
tahun ini hendaknya kamu menyimpan gandum yang banyak yang tujuanmu
nanti akan kau berikan kepada para fakir miskin, sebab nanti akan
terjadi musim paceklik pangan. Kemudian orang tadi menjalankan apa yang
diperintahkan beliau, dan akhirnya memang terbukti kebenaran ucapan
Sayyidi Ahmad Badawi.
Berkata al-Imam Sya’roni : “Pada tahun 948 H aku ketinggalan tidak
dapat menghadiri acara maulidnya Sayyidi Badawi. Lalu ada salah satu
aulia’ memberi tahu kepadaku bahwa Sayyidi Badawi pada waktu peringatan
itu memperlihatkan diri di makamnya dan bertanya : “Mana Abdul Wahhab
Sya’roni, kenapa tidak datang ?” Pada suatu tahun, al-Imam Sya’roni juga
pernah berkeinginan tidak akan mendatangi maulid beliau. Lalu aku
melihat beliau memegang pelepah kurma hijau sambil mengajak orang-orang
dari berbagai negara. Jadi orang-orang yang berada dibelakangnya,
dikanan dan kirinya banyak sekali tak terhingga jumlahnya. Terus beliau
melewati aku di Mesir, sayyidi Badawi berkata : “Kenapa kamu tidak
berangkat ?”. Aku sedang sakit tuan, jawabku. Sakit tidak
menghalang-halangi orang cinta. Terus aku diperlihatkan orang banyak
dari para aulia’dan para masayikh, baik yang masih hidup maupun yang
sudah wafat, dan orang-orang yang lumpuh semua berjalan dengan merangkak
dan memakai kain kafannya, mereka mengikuti dibelakang sayyidi Badawi
menghadiri maulid beliau. Terus aku juga diperlihatkan jama’ah dan
sekelompok tawanan yang masih dalam keadaan terbalut dan terbelenggu
juga ikut datang menghadiri maulidnya. Lalu beliau berkata: lihatlah !
itu semua tidak ada yang mau ketinggalan, akhirnya aku berkehendak untuk
mau menghadiri, dan aku berkata : Insya Allah aku hadir tuan guru ?.
Kalau begitu kamu harus dengan pendamping, jawab sayyidi Badawi.
Kemudian beliau memberi aku dua harimau hitam besar dan gajah, yang
dijanji tidak akan berpisah denganku sebelum sampai di tempat. Peristiwa
ini kemudian aku ceritakan kepada guruku Syeikh Muhammad asy-Syanawi,
beliau lalu menjelaskan: memang pada umumnya para aulia’ mengajak
orang-orang itu dengan perantaraan, akan tetapi sayyidi Ahmad Badawi
langsung dengan sendirinya menyuruh orang-orang mengajak datang. Sungguh
banyak keramat beliau, hingga al-Imam Sya’roni mengatakan,”Seandainya
keajaiban atau keramat-keramat beliau ditulis di dalam buku, tidaklah
akan muat karena terlalu banyaknya. Tetapi ada peninggalan Syeikh ahmad
Badawi yang sangat utama, yaitu bacaan sholawat badawiyah sughro dan
sholawat badawiyah kubro. Demikianlah sekelumit manakib Sayyidi Ahmad Al
Badawi disajikan kehadapan pembaca, untuk dapat diambil hikmahnya.
Langganan:
Postingan (Atom)