Minggu, 11 November 2012

Kisah Imam Al-Ghazali Belajar Membersihkan Hati

Banyak cerita menarik seputar Imam  Al Ghazali, yang paling terkenal ialah cerita tentang Ahmad, adiknya, melalui jalan saudaranya inilah jalan tasawuf menjadi pilihan Al Ghazali. Saking berterima kasihnya Al Ghazali mendedikasikan sebuah kitabnya, Madhunun bih Ala Ghairi Ahlih, untuk sang adik.

Alkisah, suatu hari ketika Imam Al Ghazali menjadi imam disebuah masjid . Tetapi saudaranya yang bernama Ahmad tidak mau berjamaah bersama, Imam Al Ghazali lalu berkata kepadanya ibunya :
"Wahai ibu, perintahkan saudaraku Ahmad agar shalat mengikutiku, supaya orang-orang tidak menuduhku selalu bersikap jelek terhadapnya".
Ibu Al Ghazali lalu memerintahkan puteranya Ahmad agar shalat makmum kepada saudaranya Al Ghazali. Ahmad pun melaksanakan perintah sang ibu untuk shalat bermakmum kepada Al Ghazali, 
 
Ketika Al Ghazali menjadi Imam shalat di masjid, sementara adiknya menajdi makmum. Ketika itu adiknya melihat tubuh sang kakak berdarah, maka ia pun (Muffaragah) membatalkan makmum kepada kakaknya, dan meneruskan shalat sendiri. Usai shalat, Ghazali bertanya, “Mengapa kamu membatalkan makmum kepadaku?” jawab Ahmad, adiknya, “Aku melihat kanda penuh darah.

Sejenak Ghazali termenung. “Memang dalam shalat saya sedang berpikir tentang persoalan haid.” Adik kandung Imam Ghazali memang dikenal sebagai ahli Kasyf, mampu melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh orang awam. Seketika itu Ghazali sadar tentang pentingnya dunia sufi. Dan kejadian inilah yang mendorongnya mendalami ilmu tasawuf.

Al Ghaali bertanya kepada adiknya Ahmad : "Dari manakah engkau belajar ilmu pengetahuan seperti itu" ? Saudaranya menjawab, "Aku belajar Ilmu kepada Syekh Al Utaqy yaitu seorang tukang jahit sandal-sandal bekas. Al Ghazali lalu pergi kepadanya" .
Dia berkata kepada Syekh Al khurazy : " Saya ingin belajar kepada Tuan ". Syekh itu berkata : Mungkin engkau tidak sanggup mengikuti perintah-perintahku ".
Al Ghazali menjawab : "Insya Allah, saya kuat ".
Syekh Al Khurazy berkata : "Bersihkanlah (sepuluh) lantai ini ".
Al Ghazali laku hendak dengan sapu. Tetapi Syekh itu berkata : " sapulah (bersihkanlah) dengan tanganmu ". Al Ghazali menyapunya lantai dengan tangannya, kemudian dia melihat kotoran yang banyak dan bermaksud menghindari kotoran itu.
Namun Syekh berkata : " bersihkan pula kotoran itu dengan tanganmu ".
Al Ghazali lalu bersiap membesihkan dengan menyisingkan pakaiannya. Melihat keadaan yang demikian itu Syekh berkata : " Nah bersìhkan kotoran itu dengan pakaian seperti itu " .

Al Ghazali menuruti perintah Syekh tersebut dengan hati yang ridha dan ikhlas.
Tetapi begitu Al Ghazali akan memulai melaksanakan perintah Syekh, beliau langsung mencegahnya dan memerintahkan agar pulang. Al Ghazali pulang dan setibanya dirumah beliau mendapat ilmu pengetahuan yang luar biasa. Dan Allah telah memberikan Ilmu Laduni atau ilmu Kasyaf yang diperoleh dari ilmu tasawuf atau kebersihan hati kepadanya.

Maka sejak itu ia memutuskan untuk menjadikan tasawuf sebagai jalan mengenal Allah yang tujuan akhirnya disebut makrifat. Menurut Ghazali, makrifat tidak hanya berarti mengenal Allah, tetapi juga mengenal alam semesta. Hakikat dan Makrifat bukan hanya pengenalan biasa, meliankan juga ilmu yang tak diragukan kebenaranya, yang disebut Ainu al-Yaqin – tersingkapnya sesuatu secara jelas, tidak ada keraguan, tidak mungkin salah dan keliru.

Makrifat sebenarnya diperoleh melalui llham. Allah memancarkan Nur ke dalam kalbu seseorang agar ia mengenali hakikat Allah dan segala ciptaannya. Hanya kalbu yang bersihlah yang bisa menerima Nur Ilahi. Apa syaratnya? Harus menyucikan diri dari dosa dan tingkah laku tercela, membersihkan diri dari keyakinan selain keyakinan kepada Allah. Kalbu harus total berdzikir kepada Allah sehingga dapat mencapai fana (kesirnaan) secara total. Jika sudah mampu mencapai tahapan ini (maqamat), ia bisa mendapatkan mukasyafah (mampu menjawab persoalan) dan musyahadah (mampu melihat Allah dalam hati).

Al-Ghazali telah meninggalkan pengaruh paling  besar atas sejarah Islam didunia

Jumat, 09 November 2012

Kisah Sedih Si Buta


Ada seorang gadis buta yang membenci dirinya sendiri karena kebutaannya itu. Tidak hanya terhadap dirinya sendiri, tetapi dia juga membenci semua orang kecuali kekasihnya. Kekasihnya selalu ada disampingnya untuk menemani dan menghiburnya. Dia berkata akan menikahi kekasihnya hanya jika dia bisa melihat dunia.

Suatu hari, ada seseorang yang mendonorkan sepasang mata kepadanya sehingga dia bisa melihat, termasuk kekasihnya. Kekasihnya bertanya, "Sekarang kamu bisa melihat dunia. Apakah kamu mau menikah denganku" ? Gadis itu terguncang saat melihat bahwa kekasihnya juga ternyata buta, Tanpa sebuah alasan wanita itupun menolak.

Kekasihnyapun tersenyum dan pergi dengan air mata mengalir, kemudian menulis surat singkat kepada gadis itu, "Sayangku, tolong jaga baik-baik kedua bola mataku hanya itu yang bisa aku brikan kepadamu"

Tidak ada yang bisa menghalangi seseorang untuk melakukan apapun demi untuk kekasihnya..



Senin, 05 November 2012

Takdir Si Ahli Ibadah

Walaupun sudah beribadah selama ratusan tahun, ternyata Allah memutuskan laki-laki ahli ibadah itu harus masuk neraka. Walau sedih, laki-laki tersebut tetap ikhlas dan justru karena keikhlasannya menerima neraka, ia justru mendapat surga.
 
Kisahnya.
Suatu saat, Nabi Musa as sedang berjalan-jalan melihat keadaan umatnya. Tak lama kemudian, beliau memutuskan untuk singgah ke sebuah tempat yang biasa digunakan untuk shalat bagi masyarakat setempat. Di tempat itu, Nabi Musa as melihat seseorang sedang beribadah dengan khusyuknya.

Nabi Musa as penasaran, siapakah laki-laki yang sudah menarik perhatiannya itu. Nabi Musa pun akhirnya menanyakan perihal tersebut kepada warga setempat. Menurut beberapa warga, orang tersebut adalah orang yang ahli ibadah.

Nabi Musa a.s. kagum melihat orang tua renta yang masih tetap khusyuk beribadah. Dengan segera, Nabi Musa as mendekatinya dan menyapa,
"Wahai hamba AAllah, apa yang hendak engkau pinta dari Allah sehingga engkau begitu khusyuk dalam beribadah," sapa nabi Musa a.s.


"Wahai Nabiyullah, umurku lebih dari 500 tahun dan aku telah 350 tahun beribadah kepada Allah tanpa melakukan dosa sedikitpun," kata ahli ibadah yang sudah tua itu.
"Subhanallah, apa yang kamu harapkan dari ibadahmu yang sedemikian lama itu?" tanya Nabi Musa a.s lagi.
"Aku hanya ingin tahu, di surga manakah Allah SWT akan meletakkan aku kelak di akhirat?" kata ahli ibadah itu.
"Apakah sudah engkau temukan jawabannya?" tanya Nabi Musa a.s.
"Belum Nabi, tolong sampaikan pertanyaanku ini kepada Allah SWT," pinta ahli ibadah itu.


Ihklas
Karena kagum dengan ibadah yang dilakukan orang tersebut, Nabi Musa as akhirnya mengabulkan permintaan ahli ibadah itu. Nabi Musa as kemudian bermunajat memohon kepada Allah SWT agar memberitahukan kepadanya dimana umatnya ini akan ditempatkan di akhirat kelak.
Allah SWT berfirman,
"Wahai Musa, sampaikanlah kepadanya bahwa Aku akan meletakkannya di dasar neraku-Ku yang paling dalam." Meski dengan berat hati, Nabi Musa as tetap mengabarkan kepada orang tersebut apa yang telah Allah Firmankan kepadanya. Saat ahli ibadah itu mendengarkan perkataan Nabi Musa, ahli ibadah itu terkejut. Ia kaget atas apa yang dikatakan oleh Nabi Musa as. Dengan perasaan sedih, ia pun beranjak dari hadapan Nabi Musa as.
 Pada malamnya, ahli ibadah itu terus menerus berfikir mengenai keadaan dirinya. Walaupun sedih, tapi ia ikhlas atas takdirnya. Ia tidak ingin menuntut apa-apa atas ibadahnya yang sudah 300 tahun itu. Namun, tiba-tiba terlintas di pikiran mengenai saudara-saudaranya, teman-temannya dan orang lain yang mana mereka baru beribadah selama 100 tahun, 200 tahun dan mereka yang belum beribadah sebanyak dirinya. Ahli ibadah itu berfikir, dimana kelak mereka akan di tempatkan. Ia merasa iba pada mereka, mungkin saja tempat mereka juga di neraka.

Masuk Surga.
Keesokan harinya, ia menjumpai Nabi Musa a.s kembali. Ia kemudian berkata,
"Wahai Nabi Musa as, aku rela kalau Allah SWT memasukkan akau ke dalam neraka-Nya, akan tetapi aku meminta satu permohonan. Aku mohon agar setelah tubuhku ini dimasukkan ke dalam neraka, maka jadikanlah tubuhku ini sebesar-besarnya sehingga seluruh pintu neraka tertutup oleh tubuhku dan tidak akan ada seorangpun yang akan masuk ke dalamnya karena tubuhku menutupi pintu neraka," pintanya.

Nabi Musa as. lalu menyampaikan permohonan orang itu kepada Allah SWT. Setelah mendengar apa yang disampaikan oleh Nabi Musa as, maka Allah SWT berfirman,
"Wahai Musa, sampaikanlah kepada umatmu itu bahwa sekarang Aku akan menempatkannya di surga-Ku yang paling tinggi."

Karena keikhlasan ahli ibadah itu, akhirnya ia mendapatkan surga. Nabi Musa as pun memberitahukan kabar ini kepada ahli ibadah yang sudah tua itu. Begitu mendengar berita yang menyenangkan itu, si ahli ibadah langsung bersyukur kepada Allah SWT. Ia semakin meningkatkan kualitas ibadahnya dengan ikhlas di sisa hidupnya.

Rabu, 31 Oktober 2012

Akhlaknya Habib Umar bin Hafidz begitu tawadhu


Seorang Sufi pasti akhlaknya mulia, tidak mungkin seorang sufi akhlaknya tercela
Contoh Ulama sekarang Al-Habib Umar bin Hafidz (Hadramaut),,
Ketika ada orang yang menentang maulid pada dirinya (Habib Umar), orang itu berkata maulid itu sesat, bid'ah dsb, apa yang dilakukan beliau (Habib Umar), ia hanya tersenyum, mencium tangan orang yang memaki maulid, hingga orang itu menangis. lalu orang itu berkata sambil menangis anak saya saja belum pernah mencium tangan saya, tapi ini orang yang saya caci, saya maki malah mencium tangan saya, hingga orang itupun yang tadinya membenci dengan maulid menjadi menyukai Maulid..

Senin, 29 Oktober 2012

Sibuk Menata Hati

Suatu ketika, seorang sufi yang masih muda datang dengan maksud ingin berguru kepada Abu Said Abul Khair, seorang Guru Sufi yang terkenal karena ‘karamah’nya dan gemar mengajar tasawuf di pengajian-pengajian. Rumah gu
ru sufi itu terletak di tengah-tengah padang pasir. Ketika sufi muda itu tiba di rumahnya, Abul Khair sedang memimpin Majelis pengajian, di tengah-tengah para muridnya.

Sewaktu Abul Khair membaca surah Al-Fatihah. Ia tiba pada ayat: ghairil maghdubi ‘alaihim, wa ladh dhallin. Sufi muda itu berpikir, “Bagaimana mungkin ia seorang Guru sufi terkenal?, makhraj bacaan Al Fatehahnya tidak bagus begitu. Bagaimana mungkin aku bisa berguru kepadanya. Bacaan Quran-nya saja tidak bagus.” Sufi muda itu mengurungkan niatnya untuk belajar kepada Abul Khair.

Sufi muda itu merasa salah memilih calon Guru baginya, dan ia memutuskan pulang dan mencari Guru lain yang makhraj bacaannya lebih bagus darinya. Begitu sufi muda itu keluar, ia langsung dihadang oleh seekor Singa Padang Pasir yang buas. Ia kemudian mundur menghindari Singa itu, akan tetapi di belakangnya ada seekor Singa Padang Pasir lain yang menghalanginya. Lelaki muda itu menjerit keras meminta tolong karena ketakutan.

Mendengar teriakannya, Abul Khair segera turun keluar meninggalkan majelisnya. Ia menatap kedua ekor Singa yang kelaparan itu dan menegur mereka, “Wahai Singa, Bukankah sudah kubilang padamu, jangan pernah kalian menganggu para tamuku!”

Kedua singa itu lalu bersimpuh di hadapan Abul Khair. Sang sufi lalu mengelus telinga keduanya dan menyuruhnya pergi. Lelaki muda itu keheranan, “Bagaimana mungkin Anda dapat menaklukkan Singa-Singa yang begitu liar?”

Abul Khair menjawab, “Anak muda, selama ini aku sibuk memperhatikan urusan hatiku.Bertahun-tahun aku berusaha menata hatiku, hingga aku tidak sempat berprasangka buruk kepada orang lain. Untuk kesibukanku menaklukkan hati ini, Allah SWT menaklukkan seluruh alam semesta kepadaku. Semua binatang buas di sini termasuk Singa-Singa Padang pasir yang buas tadi semua tunduk kepadaku. Sekarang apakah kamu menyadari kekuranganmu wahai anak muda ?

“Tidak , wahai Guru”, jawab anak muda itu.

“Selama ini kamu sibuk memperhatikan hal-hal lahiriah hingga nyaris lupa memperhatikan hatimu, karena itu kamu takut kepada seluruh alam semesta, dan ketakutan hanya karena Singa-Singa itu.”

Sahabatku,

Betapa indah sekiranya kita memiliki hati atau qolbu yang senantiasa tertata terpelihara terawat dengan sebaik-baiknya. Kita akan senantiasa merasakan lapang tenteram tenang sejuk dan indah hidup di dunia ini. Semua ini akan tercermin dalam tiap gerak-gerik perilaku tutur kata, senyum tatapan mata riak air muka bahkan diam sekalipun.

Orang yang hatinya telah tertata dengan baik, ia tidak pernah merasa resah gelisah tidak pernah gundah gulana. Kemana pun pergi dan dimana pun berada ia senantiasa mampu mengendalikan hatinya. Diri senantiasa berada dalam kondisi damai dan mendamaikan tenang dan menenangkan tenteram dan menenteramkan. Ia yakin dengan keyakinan yang amat sangat bahwa hanya dengan mengingat dan merindukan Allah, hanya dengan menyebut-nyebut namaNYA setiap saat, meyakini dan mengamalkan ayat-ayat-Nya maka hati menjadi tenteram. Tantangan seberat apapun diterima dengan ikhlas.

Sebaliknya orang yang hati-nya tidak tertata akan mendapatkan kerugian yang berlipat-lipat. Tidak saja hati yang selalu gelisah namun juga orang lain yang melihat pun tidak akan menaruh hormat sedikit pun jua. Ia akan dicibir dan dilecehkan orang. Ia akan tidak disukai sehingga sangat mungkin akan tersisih dari pergaulan. Terlepas siapa orangnya. Adakah ia orang berilmu berharta banyak pejabat atau siapapun; kalau hatiya tidak ditata dengan baik alias berhati busuk niscaya akan mendapat celaan dari masyarakat yang mengenalnya. Derajatnya-pun mungkin akan sama atau bahkan lebih hina dari pada apa yang dikeluarkan dari perutnya.

Orang yang hatinya tertata rapih adalah orang yang telah berhasil merintis jalan ke arah kebaikan. Ia tidak akan tergoyahkan dengan aneka rayuan dunia yang tampak menggiurkan. Ia akan melangkah pada jalan yang lurus. Dari titik tahapan kebaikan itu hingga mencapai titik puncak. Sementara itu ia akan berusaha sekuat tenga untuk memelihara diri dari sikap sombong (ujub), riya’, hasad (dengki) dan perilaku rendah lainnya.

Sungguh betapa beruntung orang yang senantiasa bersungguh-sungguh menata hati karena berarti ia telah menabung aneka kebaikan yang akan segera dipetik hasil dunia akhirat. Sebaliknya, alangkah malangnya orang yang tidak pernah menata hatinya, selama hidup lalai dan membiarkan hatinya kusut masai dan kotor. Karena jangankan akhirat kelak bahkan ketika hidup di dunia pun nyaris tidak akan pernah merasakan nikmat hidup tenteram nyaman dan lapang.

Sahabatku,

Seperti Sufi Besar, Abu Said Abul Khair dalam kisah di atas yang dapat menaklukkan alam semesta akibat ia sibuk menata hatinya, bahkan sepasang Singa padang pasir yang sangat buas dan kelaparan bisa dengan mudah ia tundukkan. Sebaliknya sufi muda yang hendak berguru, akibat sibuk hanya mengurus makhraj bacaan Al Qur’an orang lain, dan berprasangka buruk pada calon Gurunya, maka ia dihantui ketakutan akan alam semesta..
marilah kita senantiasa melatih diri untuk menyingkirkan segala penyebab yang potensial bisa menimbulkan ketidak-nyamanan yang ada di dalam hati ini. Karena dengan hati yang nyaman, indah dan lapang, niscaya akan membuat hidup ini terasa damai. Dengan hati yang tertata, maka meskipun berseliweran aneka masalah hidup yang dihadapi, namun sama sekali tidak akan pernah membuat ia terjebak dalam kesulitan, karena ia selalu mampu menemukan jalan keluar terbaik dengan izin Allah. Insya Allah!

Kisah Ma’ruf Al-Kharqi, Sufi yang Bertamu di Arasy

Ia mabuk cinta akan Dzat Ilahi. Konon, Allah mengkuinya sebagai manusia yang mabuk cinta kepada-Nya. Kebesarannya diakui berbagai golongan

Nama sufi ini tidak terlalu populer, meski sama-sama berasal dari Irak, namanya tak sepopuleh Syekh Abdul Qadir Jailani, Manshur Al-Hallaj, atau Junaid Al-Baghdadi. Dialah Ma’ruf Al-Kharqi, salah seorang sufi penggagas paham cinta dalam dunia Tasawuf yang jiwanya selalu diselimuti rasa rindu yang luar biasa kepada sang Khalik. Tak salah jika ia menjadi panutan generasi sufi sesudahnya. Banyak sufi besar seperti Sarry Al-Saqaty, yang terpengaruh gagasan-gagasannya. Ia juga diangap sebagai salah seorang sufi penerus Rabi’ah Al-Adawiyah sang pelopor mazhab Cinta.
Nama lengkapnya Abu Mahfudz Ma’ruf bin Firus Al-Karkhi. Meski lama menetap di Baghdad, Irak, ia sesungguhnya berasal dari Persia, Iran. Hidup  di zaman kejayaan Khalifah Harun Al-Rasyid dinasti Abbasiyah. tak seorangpun menemukan tanggal lahirnya. Perhatikan komentar Sarry As-Saqaty, salah seorang muridnya. “Aku pernah bermimpi melihat Al-Kharqi bertamu di Arasy, waktu itu Allah bertanya kepada Malaikat, siapakah dia? Malaikat menjawab, “Engkau lebih mengetahui wahai Allah,” maka Allah SWT berfirman, dia adalah Ma’ruf Al-Kharqi, yang sedang mabuk cinta kepadaku.”
Menurut Fariduddin Aththar, salah seorang sufi, dalam kitab Tadzkirul Awliya, orang tua Ma’ruf adalah seorang penganut Nasrani. Suatu hari guru sekolahnya berkata, “Tuhan adalah yang ketiga dan yang bertiga,” tapi, Ma’ruf membantah, “Tidak! Tuhan itu Allah, yang Esa.
Mendengar jawaban itu, sang guru memukulnya, tapi Ma’ruf tetap dengan pendiriannya. Ketika dipukuli habis-habisan oleh gurunya, Ma’ruf melarikan diri.
Karena tak seorang pun mengetahui kemana ia pergi, orang tua Ma’ruf berkata, “Asalkan ia mau pulang, agama apapun yang dianutnya akan kami anut pula.” Ternyata Ma’ruf menghadap Ali bin Musa  bin Reza, seorang ulama yang membimbingnya dalam Islam.
Tak beberapa lama, Ma’ruf pun pulang. Ia mengetuk pintu. “Siapakah itu” tanya orang tuanya. “Ma’ruf,” jawabnya. “agama apa yang engkau anut?” tanya orang tuanya. “Agama Muhammad, Rasulullah,” jawab Ma’ruf. Mendengar jawaban itu, orang tuanya pun memeluk Islam.
Cinta  Ilahiah
Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Daud A-Tsani, ia membimbing dengan disiplin kesufian yang keras, sehingga mampu menjalankan ajaran agama dengan semangat luar biasa. Ia dipandang sebagai salah seorang yang berjasa dalam meletakkan dasar-dasar ilmu tasawuf dan mengembangkan paham cinta Ilahiah.
Menurut Ma’ruf, rasa cinta kepada Allah SWT tidak dapat timbul melalui belajar, melainkan semata-mata karena karunia Allah SWT. Jika sebelumnya ajaran taawuf bertujuan membebaskan diri dari siksa akhirat, bagi Ma’ruf merupakan sarana untuk memperoleh makrifat (pengenalan) akan Allah SWT. Tak salah jika menurut Sufi Taftazani, adalah Ma’ruf Al-Kharqi yang pertama kali memperkenalkan makrifat dalam ajaran tasawuf, bahkan dialah yang mendifinisikan pengertian tasawuf. Menurutnya, Tasawuf ialah sikap zuhud, tapi tetap berdasarkan Syariat.
Masih menurut Ma’ruf, seorang Sufi adalah tamu Tuhan di dunia. Ia berhak mendapatkan sesuatu yang layak didapatkan oleh seorang tamu, tapi sekali-kali tidak berhak mengemukakan kehendak yang didambakannya. Cinta itu pemberian Tuhan, sementara ajaran sufi berusaha mengetahui yang benar dan menolak yang salah. Maksudnya, seorang sufi berhak menerima pemberian Tuhan, seperti Karomah, namun tidak berhak meminta. Sebab hal itu datang dari Tuhan – yang lazimnya sesuai dengan tingkat ketaqwaan seseorang kepada Allah SWT.
Gambaran tentang Ma’ruf diungkapkan oleh seorang sahabatnya sesama sufi, Muhammad Manshur Al-Thusi, katanya, “Kulihat ada goresan bekas luka di wajahnya. Aku bertanya: kemarin aku bersamamu tapi tidak terlihat olehku bekas luka. Bekas apakah ini?” Ma’ruf pun menjawab, “Jangan hiraukan segala sesuatu yang bukan urusanmu. Tanyakan hal-hal yang berfaedah bagimu.”
Tapi Manshur terus mendesak. “Demi Allah, jelaskan kepadaku,” maka Ma’ruf pun menjawab. “Kemarin malam aku berdoa semoga aku dapat ke Mekah dan bertawaf mengelilingi Ka’bah. Doaku itu terkabul, ketika hendak minum air di sumur Zamzam, aku tergelincir, dan mukaku terbentur sehingga wajahku lukan.”
Pada suatu hari Ma’ruf berjalan bersama-sama muridnya, dan bertemu dengan serombongan anak muda yang sedang menuju ke Sungai Tigris. Disepanjang perjalanan anak muda itu bernyanyi sambil mabuk. Para murid Ma’ruf mendesak agar gurunya berdoa kepada Allah sehingga anak-anak muda mendapat balasan setimpal. Maka Ma’ruf pun menyuruh murid-muridnya menengadahkan tangan lalu ia berdoa, “Ya Allah, sebagaimana engkau telah memberikan kepada mereka kebahagiaan di dunia, berikan pula kepada mereka kebahagiaan di akherat nanti.” Tentu saja murid-muridnya tidak mengerti. “Tunggulah sebentar, kalian akan mengetahui rahasianya,” ujar Ma’ruf.
Beberapa saat kemudian, ketika para pemuda itu melihat ke arah Syekh Ma’ruf, mereka segera memecahkan botol-botol anggur yang sedang mereka minum, dengan gemetar mereka menjatuhkan diri di depan Ma’ruf dan bertobat. Lalu kata Syekh Ma’ruf kepada muridnya, “Kalian saksikan, betapa doa kalian dikabulkan tanpa membenamkan dan mencelakakan seorang pun pun juga.”
Ma’ruf mempunyai seorang paman yang menjadi Gubernur. Suatu hari sang Gubernur melihat Ma’ruf sedang makan Roti, bergantian dengan seekor Anjing. Menyaksikan itu pamannya berseru, “Tidakkah engkau malu makan roti bersama seekor Anjing?” maka sahut sang kemenakan, “Justru karena punya rasa malulah aku memberikan sepotong roti  kepada yang miskin.” Kemudian ia menengadahkan kepala dan memanggil seekor burung, beberapa saat kemudian, seekor burung menukik dan hinggap di tangan Ma’ruf. Lalu katanya kepada sang paman, “Jika seseorang malu kepada Allah SWT, segala sesuatu akan malu pada dirinya.”  Mendengar itu, pamannya terdiam, tak dapat berkata apa-apa.
Suatu hari beberapa orang syiah mendombrak pintu rumah gurunya, Ali bin Musa bin Reza, dan menyerang Ma’ruf hingga tulang rusuknya patah. Ma’ruf tergelatak dengan luka cukup parah, melihat itu, muridnya, Sarry al-Saqati berujar, “Sampaikan wasiatmu yang terakhir,” maka Ma’ruf pun berwasiat. “Apabila aku mati, lepaskanlah pakaianku, dan sedekahkanlah, aku ingin mneinggalkan dunia ini dalam keadaan telanjang seperti ketika dilahirkan dari rahim ibuku.”
Sarri as-Saqathi meriwayatkan kisah: Pada suatu hari perayaan aku melihat ma’ruf tengah memunguti biji-biji kurma.
“Apa yang sedang engkau lakukan?” tanyaku.
Ia menjawab, “Aku melihat seorang anak menangis. Aku bertanya, “Mengapa engkau menangis?” ia menjawab. “Aku adalah seorang anak yatim piatu. Aku tidak memiliki ayah dan ibu. Anak-anak yang lain memdapat baju-baju baru, sedangkan aku tidak. Mereka juga dapat kacang, sedangkan aku tidak,” lalu akupun memunguti biji-biji kurma ini. Aku akan menjualnya, hasilnya akan aku belikan kacang untuk anak itu, agar ia dapat kembali riang dan bermain bersama anak-anak lain.”
“Biarkan aku yang mengurusnya,” kataku.
Akupun membawa anak itu, membelikannya kacang dan pakaian. Ia terlihat sangat gembira. Tiba-tiba aku merasakan seberkas sinar menerangi hatiku. Dan sejak saat itu, akupun berubah.
Suatu hari Ma’ruf batal wudu. Ia pun segera bertayammum.
Orang-orang yang melihatnya bertanya, “Itu sungai Tigris, mengapa engkau bertayammum?”
Ma’ruf menjawab, “Aku takut keburu mati sebelum sempat mencapai sungai itu.”
Ketika Ma’ruf wafat, banyak  orang dari berbagai golongan datang bertakziyah, Islam, Nasrani, Yahudi. Dan ketika jenazahnya akan diangkat, para sahabatnya membaca wasiat almarhum: “Jika ada kaum yang dapat mengangkat peti matiku, aku adalah salah seorang diantara mereka.” Kemudian orang Nasrani dan Yahudi maju, namun mereka tak kuasa mengangkatnya. Ketika tiba giliran orang-orang muslim, mereka berhasil, lalu mereka menyalatkan dan menguburkan jenazahnya.

Jumat, 26 Oktober 2012

Perbedaan faham Ulama Ahli Syariat terhadap Ulama Ahli Hakikat (Tasawuf)

Terjadi suatu peristiwa, seorang pemuda telah bertanya kepada guru tasawufnya tentang perbedaan antara orang-orang syariat dan orang-orang hakikat dalam memahami agama Islam dan kenapa ilmu hakikat tidak berkembang luas. Kemudian sang guru berkata..“Untuk aku menjawab soalanmu itu wahai muridku, pergilah bertanya kepada kedua mereka akan dua persoalan ini iaitu yang pertama, adakah Allah itu berkuasa dan yang kedua, sembahyang itu apa hukumnya? Pergilah ke kampung sebelah kerana disana kamu akan menemui ulama syariat dan ulama hakikat. Bertanyalah kepada orang-orang kampung disana untuk mencari mereka.”Akur atas arahan gurunya itu lantas si pemuda tanpa banyak bicara terus ke rumah ulama syariat yang terkenal dikampung sebelah dengan bertanya-tanya arah rumahnya kepada orang kampung. Sesampainya si pemuda itu dirumah ulama syariat tersebut dengan ramah mesra si pemuda diajak masuk ke dalam rumah yang serba sederhana itu. Sang ulama syariat kelihatan kemas berjubah putih dan berserban, ditambah raut wajahnya yang bersih tanda beliau seorang yang soleh. Si pemuda dilayan seperti anak sendiri dengan dijamu makan malam sebelum sesi dialog dijalankan. Usai makan malam terus sahaja sang ulama syariat memulakan bicara.

“Ada urusan apa sehingga kamu bertandang ke rumah saya ini wahai anak muda?”
Tanya sang ulama syariat dengan nada yang redup.
“Sebenarnya saya ingin mendapatkan jawapan diatas dua persoalan yang ingin saya ajukan berkenaan dengan agama Islam kita ini kepada ustaz. Soalannya ialah adakah Allah itu berkuasa dan yang kedua, sembahyang itu apa hukumnya?”
Setelah diam sejenak lalu sang ulama syariat menarik nafas dalam-dalam dan dengan tenang memberikan jawapannya.
“Ya, Allah itu memang berkuasa dan sembahyang itu hukumnya adalah wajib.”
Setelah mendapatkan jawaban daripada ulama syariat itu maka pemuda itu pulang sambil hatinya berazam untuk bertemu dengan ulama hakikat pula. Keesokkan harinya si pemuda mula merayau-rayau dikampung itu untuk mencari sang ulama hakikat. Puas bertanya dengan orang kampung maka tengah hari itu si pemuda bertemu dengan seorang makcik yang akhirnya bersetuju menunjukkan beliau dimana sang ulama hakikat berada.
Sesampainya ditempat yang dituju kelihatan seorang lelaki tua sedang membersihkan halaman rumahnya yang luas dihiasi taman bunga yang cantik. Rumahnya begitu besar dan mewah. Sang ulama hakikat yang berkulit gelap itu kelihatan memakai pakaian yang agak lusuh berbanding rumahnya yang begitu mewah. Sudah sepuluh minit si pemuda berbual-bual ringan dengan sang ulama hakikat namun kelihatan seolah-olah tiada tanda-tanda sang ulama hakikat mahu menjemput beliau masuk ke dalam rumahnya yang mewah itu.
“Ada apa urusan nak jumpa saya ini?”
Tanya sang ulama hakikat itu sambil tersenyum. Kemudian si pemuda bertanyakan soalan yang sama sebagaimana yang ditanyakan kepada sang ulama syariat.
“Sebenarnya saya ingin mendapatkan jawapan diatas dua persoalan yang ingin saya ajukan berkenaan dengan agama Islam kita ini kepada ustaz. Soalannya ialah adakah Allah itu berkuasa dan yang kedua, sembahyang itu apa hukumnya?”
Kelihatan sang ulama hakikat tersenyum sahaja mendengar soalan itu lantas dengan tahkik beliau menjawab..
“Wahai anak muda ketahuilah yang sebenarnya bahawa Allah itu tidak berkuasa dan sembahyang itu hukumnya adalah haram.”
Terperanjat besar si pemuda mendengar jawapan sang ulama hakikat yang bersahaja itu. Sukar rasanya si pemuda mahu menghadam jawapan yang baru disampaikan kepadanya itu. Tanpa berlengah-lengah maka si pemuda itu mohon undur diri kemudian pulang ke rumahnya dengan seribu persoalan yang berlegar-legar dibenak kepalanya.
Sebagai seorang muslim taat yang baru hendak menjinak-jinakkan diri dengan dunia tasawuf, si pemuda berasa keliru dengan jawaban yang diberikan oleh sang ulama hakikat. Setahu beliau pelajaran tasawuf itu bersangkutan dengan ilmu hakikat dan ma’rifat. Mendengar jawapan daripada sang ulama hakikat itu membuatkan si pemuda berasa takut untuk meneruskan pelajaran tasawuf dengan gurunya dan mengambil keputusan untuk tidak lagi berguru dengan guru tasawufnya lantas mengambil keputusan untuk berguru dengan sang ulama syariat. Beliau mulai meragui perjalanan ilmu hakikat dan dalam hati beliau bergumam..
“Kalau nak dibandingkan dari segi akhlak pun akhlak sang ulama syariat lebih bagus daripada akhlak sang ulama hakikat. Walaupun sang ulama syariat hidup dalam keadaan sederhana namun aku dijemput masuk ke dalam rumahnya lantas dijamu dengan makanan yang enak berbanding sang ulama hakikat yang kedekut.. sudahlah tidak dijemput masuk ke dalam rumahnya, setitik air pun tidak diberinya malah dengan dirinya sahaja pun sudah kedekut. Lihat sahaja pakaiannya yang lusuh itu.”
Keesokkannya, si pemuda dengan tergesa-gesa menuju ke rumah sang ulama syariat dan menceritakan kepada beliau hasil dialognya dengan sang ulama hakikat. Mendengar penjelasan si pemuda, sang ulama syariat berasa marah lantas mengarahkan anak-anak muridnya untuk menangkap sang ulama hakikat. Maka dengan sekejap sahaja penduduk kampung itu digemparkan dengan cerita bahawa sang ulama hakikat itu telah membawa ilmu sesat dikampung itu.
Sang ulama hakikat dapat ditangkap dengan bantuan orang-orang kampung. Tangannya diikat dibelakang lalu dipaksa untuk berjalan. Kelihatan terdapat segelintir dari orang-orang kampung yang bertindak memukul muka dan badan beliau serta tidak kurang juga ada yang melempari beliau dengan batu-batu kecil kerana tidak dapat menahan rasa marah. Pun begitu sang ulama hakikat tetap berdiam namun air matanya tak henti-henti mengalir. Mungkin beliau menahan sakit.
Tiba dihalaman rumah sang ulama syariat lalu dengan kasar tubuh sang ulama hakikat yang sudah tua itu ditolak dengan keras lantas beliau terdorong ke depan lalu jatuh tersungkur. Si pemuda yang sedari tadi menunggu dirumah sang ulama syariat terkejut dengan situasi itu. Beliau tidak menyangka sampai begitu malang nasib yang menimpa sang ulama hakikat sehingga diperlaku begitu. Namun apalah dayanya untuk mengekang kemarahan orang-orang kampung yang sedang meluap-luap itu. Kemudian setelah meredakan suasana, sang ulama syariat menghampiri sang ulama hakikat lalu bertanya kepada beliau..
“Benarkah anda menjawab ‘Allah itu tidak berkuasa dan sembahyang itu hukumnya adalah haram’ sebagai menjawab pertanya pemuda ini?” sambil jari telunjuknya diarahkan tepat pada si pemuda.
Dengan tenang sang ulama hakikat menjawab “Ya”.
Kemudian sang ulama syariat bertanya lagi.
“Adakah anda masih dengan pendirian anda atau anda mahu bertaubat?”
Tanya sang ulama syariat tegas. Lalu dijawab dengan tenang oleh sang ulama hakikat..
“Untuk kesalahan yang mana lalu saya perlu bertaubat wahai hakim?”
“Untuk kesalahan anda yang mengatakan Allah tidak berkuasa dan sembahyang itu hukumnya haram!”
“Oh begitu.. beginilah tuan hakim, pada saya jawapan saya itulah yang teramat benar namun jika tuan hakim tidak menyetujuinya tidak apa-apa dan terserahlah kepada kebijaksanaan tuan hakim untuk mengadili saya kerana tuan adalah hakim dinegeri ini.”
Habis sahaja sang ulama hakikat berkata begitu lantas beliau dilempari dengan puluhan sepatu oleh penduduk kampung dan ada juga yang berteriak agar beliau dibunuh. Sang ulama syariat terdiam dan merenung dalam seolah-olah memikirkan sesuatu yang berat. Akhirnya sang ulama syariat membuat keputusan agar sang ulama hakikat diberi tempoh sehingga esok untuk bertaubat dan jika tidak beliau akan dihukum bunuh. Setelah itu sang ulama hakikat diikat pada sebatang pokok nangka yang berada dihalaman rumah sang ulama syariat dalam posisi duduk menghadap kiblat sambil dikawal oleh beberapa orang-orang kampung.
Kini, saatnya pun telah tiba namun sang ulama hakikat tetap tidak mahu bertaubat daripada pendiriannya. Ramai yang merasa pelik dengan pendirian sang ulama hakikat dan yang lebih kusut lagi ialah fikiran si pemuda itu. Tiba-tiba si pemuda merasa kasihan dan merasa bersalah mengenang keadaan malang yang menimpa sang ulama hakikat adalah hasil daripada perbuatannya. Namun nasi sudah menjadi bubur. Perlahan-lahan si pemuda mendekati sang ulama hakikat untuk memohon maaf. Aneh.. kelihatan sang ulama hakikat itu hanya tersenyum dan dengan senang hati mahu memaafkan si pemuda. Ketika si pemuda itu mahu beredar tiba-tiba ia mendengar sang ulama hakikat membacakan sepotong ayat Al Quran dengan nada yang riang..
“Wa qul jaa alhaq wazahaqol baathil innal baathila kana zahuuqo.”
Ucap beliau berulang-ulang sambil memandang kearah seseorang lantas mukanya tiba-tiba kelihatan berseri-seri dalam senyuman yang menggembirakan. Si pemuda lantas menoleh kearah orang itu dan apa yang beliau lihat ialah kelibat bekas guru tasawuf beliau diantara celahan penduduk kampung yang ingin menyaksikan hukuman pancung yang bakal dijalankan. Tak lama kemudian hukuman bunuh pun dilaksanakan maka tamatlah riwayat sang ulama hakikat dibawah mata pedang sang algojo. Seluruh penduduk kampung bersorak gembira tanda kemenangan dipihak mereka yang berjaya membunuh seorang pembawa ajaran sesat.
Selang beberapa hari oleh kerana rasa ingin tahu yang meluap-luap maka si pemuda bersegera mengadap bekas guru tasawufnya. Si pemuda berasa hairan mengapa sang ulama hakikat membacakan ayat 81 daripada surah al-Isra’ seraya melihat kelibat bekas guru tasawufnya itu?.
“Wahai muridku, marilah duduk dihadapanku ini.”
Ujar guru tasawuf seraya melihat kedatangan muridnya itu. Si pemuda terkedu.. tidak tahu apa yang hendak dikatakan. Fikiran terasa kosong dan segala persoalan yang hendak diajukan terasa tiba-tiba hilang entah tertinggal dimana.
“Baiklah muridku, atas persoalanmu yang dahulu itu maka akan aku jawab sekarang ini.”
Lembut sahaja bicaranya.
“Adapun persoalanmu tentang perbezaan antara orang-orang syariat dan orang-orang hakikat dalam memahami agama Islam akan aku jawab seperti berikut. Yang pertama, orang syariat akan menjawab setiap persoalan melalui ‘bahasa’ ilmu syariat manakala orang hakikat akan menjawab setiap persoalan melalui ‘bahasa’ ilmu hakikat. Jawaban sang ulama syariat adalah benar menurut ‘bahasa’ ilmu syariat dan jawaban sang ulama hakikat juga benar menurut ‘bahasa’ ilmu hakikat.”
“bagaimana begitu wahai tuan guru?” Tanya si pemuda.
“Begini… adalah benar apabila sang ulama hakikat memberitahu kamu bahawa Allah itu tidak berkuasa sebab melalui peraturan ilmu hakikat, perkataan ‘Allah’ itu adalah dirujuk semata-mata sebagai isim bagi zat tuhan kita sahaja. Ini bermakna yang berkuasa pada hakikatnya adalah zat tuhan kita dan bukannya yang berkuasa itu isimNya. Perkataan ‘Allah’ itu pada hakikatnya adalah gelar bagi zat tuhan kita. Adapun gelaran itu hakikatnya adalah khabar maka khabar tiada ain wujud. Jika sesuatu itu tiada ain wujudnya maka mustahil dikatakan ia mempunyai kuasa. Adakah kamu faham?”
Si pemuda mengangguk lemah sambil merenung lantai.
“Adalah sesuatu yang benar juga apabila sang ulama hakikat memberitahu kamu bahawa sembahyang itu hukumnya adalah haram.”
“bagaimana begitu wahai tuan guru?” Tanya si pemuda.
“Begini… sebenarnya tiada ibadat sembah-menyembah dalam agama Islam namun yang ada Cuma ibadat solat. Ya, ianya adalah solat dan bukannya sembahyang. Cuba kamu fahamkan betul-betul maksud firman Allah dalam surah al-Kafirun ayat 6 yang bermaksud “Bagi kamu agama kamu dan bagiku agamaku”. Ini menunjukkan cara ibadat orang kafir tidak sama langsung dengan cara ibadat orang muslim. Perkataan sembahyang itu adalah asalnya terbit daripada upacara ibadat masyarakat hindu-budha untuk menyembah tuhan yang bernama Hyang. Maka upacara ibadat itu dinamakan upacara sembahHyang. Solat itu bukan sembah dan tuhan kita bukannya Hyang tetapi Allah. Jadi kita sebagai orang muslim adalah haram sembahHyang kerana itu adalah ibadat penganut hindu-budha. Sesungguhnya solat itu bukan sembah tetapi solat itu ialah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW yang bermaksud, “Apabila seseorang kamu sedang solat sesungguhnya dia sedang berbicara dengan tuhannya…”.
Si pemuda semakin tertunduk.
“Jadi, adakah kamu sudah faham mengapa sang ulama hakikat itu berkata bahawa Allah itu tidak berkuasa dan sembahyang itu hukumnya adalah haram?”
“Ya tuan guru, sekarang barulah jelas.”
“Yang kedua, orang-orang syariat mempelajari ilmu-ilmu hukum maka mereka menyelesaikan sesuatu masalah juga dengan hukum sementara orang-orang hakikat mempelajari ilmu-ilmu ma’rifatullah maka mereka menyelesaikan sesuatu masalah juga dengan Allah.”
Ketika ini lamunan si pemuda menyorot kembali peristiwa yang telah berlaku dimana kata-kata guru tasawuf itu ada benarnya juga. Memang benar sang ulama syariat telah menyelesaikan masalah yang berlaku dengan hukuman bunuh terhadap sang ulama hakikat sedang sang ulama hakikat menyelesaikan masalah antara dia dan si pemuda itu dengan kemaafan sesuai dengan sifat tuhan yang Maha Pemaaf dan Maha Pengampun.
“Adapun persoalanmu tentang kenapa ilmu hakikat tidak berkembang-luas maka akan aku jawab seperti berikut. Tidak berkembang-luasnya ilmu hakikat adalah disebabkan masih adanya orang-orang yang seperti kamu!”
Bentak sang guru tasawuf yang membuatkan darah si pemuda berderau.
“bagaimana begitu wahai tuan guru?” Tanya si pemuda.
“Kerana kejahilan kamu dalam memahami hal-ehwal hakikat terus sahaja kamu tanpa usul periksa menghukum sang ulama hakikat sebagai tidak betul dan berburuk sangka terhadap beliau lalu kamu memfitnahi beliau dihadapan sang ulama syariat sehingga sang ulama hakikat tertangkap lalu diseksa dan dipancung oleh kalian. Jika semua ulama hakikat sewenang-wenangnya dibunuh tanpa usul periksa justeru kerana itulah ilmu hakikat tidak berkembang-luas.”
“Tapi tuan guru, bagaimana saya tidak terkhilaf sedang akhlak sang ulama hakikat itu tidak mencerminkan beliau sebagai orang yang beragama! Sang ulama hakikat langsung tidak menjemputku masuk ke dalam rumahnya yang besar lagi mewah itu dan langsung tidak memberiku walau setitik air bahkan dengan dirinya sahaja pun amat kedekut. Lihat sahaja pakaiannya yang lusuh itu.”
“Awas lidahmu dalam berkata-kata wahai anak muda! Telahku katakan tadi bahawa kamu memiliki sifat buruk sangka. Ketahuilah bahawa rumah besar lagi mewah yang kamu lihat itu bukanlah milik sang ulama hakikat tersebut sebaliknya adalah milik majikan beliau dan beliau hanya mengambil upah sebagai tukang kebun disitu. Adapun pakaiannya yang lusuh itu maka itu sahajalah harta benda yang beliau ada dan beliau hidup hanya untuk mengabdikan dirinya kepada Allah.”
“Bagaimana tuan guru boleh tahu segala yang terperinci tentang sang ulama hakikat itu?”
Tanya si pemuda hairan.
“Kerana orang yang kalian bunuh itu adalah guru tasawufku maka dengan itu sebutir lagi permata yang indah telah hilang. Telahku jawab semua persoalanmu maka pergilah kamu kepangkuan guru syariatmu iaitu sang ulama syariat.”
Si pemuda itu terkejut lantas berkata…
“Tapi wahai guruku, aku telah insaf dan ingin kembali berguru denganmu wahai guruku.. terimalah aku kembali wahai guruku!!”
“Ketahuilah wahai anak muda, aku enggan mengambilmu adalah semata-mata kerana keselamatanmu dan bukan kerana aku membencimu.”
“Aku tidak faham akan maksud tuan guru??”
“Pergi sahajalah kembali kepangkuan sang ulama syariat kerana kamu akan selamat disana dan jangan kamu sesekali mengaku aku adalah gurumu kelak kamu akan mengerti akan maksud tindakanku ini.”
Dengan hati yang berat dan sayu si pemuda berjalan menuju ke rumah sang ulama syariat untuk berguru dengannya dan beliau diterima sebagai murid. Selang beberapa hari, keadaan kampung tiba-tiba kecoh kembali. Dengar khabarnya seorang lagi pengamal ilmu sesat telah ditangkap dan kali ini pengamal ajaran sesat itu berasal dari kampung sebelah. Dari kejauhan kelihatan berbondong-bondong orang ramai sedang dalam perjalanan menuju ke rumah sang ulama syariat sambil menyungsung seorang lelaki yang telah dikenalpasti sebagai pengamal atau guru ajaran sesat. Dari jauh si pemuda dapat saksikan lelaki itu dipukul dan ditendang malah ada yang membalingnya dengan batu-batu kecil sehingga pakaiannya koyak-rabak. Rupa-rupanya lelaki yang pakaiannya telah koyak-rabak itu adalah sang guru tasawufnya.
Maka mengertilah si pemuda itu akan maksud tindakkan sang guru tasawuf yang tidak mahu mengambil beliau sebagai anak murid dan beliau hanya mampu mengalirkan air mata sambil menahan sebak melihat sang guru tasawuf itu diperlakukan seperti itu. Esoknya hukuman pancung terhadap sang guru tasawuf itu dilaksanakan maka sebutir lagi permata yang indah telah hilang sirna dari negeri itu……… Didalam hati si pemuda merintih..
“Ya Allah.. berapa ramaikah lagi ahli tasawuf yang mesti dikorbankan semata-mata mahu membuatkan aku mengerti mengapa ilmu hakikat tidak dapat berkembang-luas? Cukup Ya Allah cukup kerana sekarang aku sudah mengerti….”